Hampir 3 tahun yang lalu, saya menjadi seorang ibu untuk pertama kalinya. Tapi di saat yang sama, saya merasa gagal menjadi seorang ibu.Â
Saya melahirkan anak pertama saya dengan segala upaya saya. Mungkin saya termasuk ibu yang idealis, tak berencana melakukan operasi caesar saat ingin melahirkan.Â
Saya berharap bisa melahirkan anak saya sebagaimana perjuangan ibu saya melahirkan saya dengan cara pervaginam.Â
Waktu itu, di mata saya operasi caesar tidak seberjuang pervaginam. Tapi nyatanya, operasi dan pervaginam sama-sama mempertatuhkan nyawa dan menimbulkan rasa sakit. Malah sakit yang ditimbulkan setelah operasi jauh lebih lama karena menyentuh ranah mental saya.Â
Dalam perjalanan saya menjadi seorang ibu, bagi saya operasi caesar merupakan awal kegagalan saya menjadi ibu seutuhnya.Â
Saya merasa gagal, apatah lagi sebagian orang mungkin menganggap operasi yang saya lakukan hanya untuk menyamankan proses saya melahirkan seorang anak. Padahal nyatanya itu untuk menyelamatkan anak saya. Dari situlah saya mengalami berbagai ketakutan yang tidak diketahui oleh orang banyak.Â
Mungkin sebagian orang mengerti, tapi tidak dengan mereka yang tidak tahu bahwa saya menjalani caesar cito.Â
Operasi yang dilakukan saat saya sudah sampai ke pembukaan lengkap untuk sebuah proses persalinan normal. Bahkan saat di meja operasi, saya pun mengalami kontraksi yang begitu menyakitkan seorang diri di antara para tenaga medis.
Kena mental, saya mengalami itu terlebih lagi anak saya harus dirawat dan diinkubator selama tiga hari.Â
Dia berjuang untuk hidup saat telahir kedunia. Untuk meminum ASI di hari pertama lahir ke dunia saja, dia bahkan tidak mampu.Â
Dokter mendiagnosis dia menelan air ketuban sehingga masuk ke paru-parunya, bayi itulah yang kami namai Muh. Afhamul Hikam.
Komentar, ketakutan terhadap anggapan banyak orang, kondisi kesehatan baby Aam saat itu yang seringkali mengalami muntah, dan anggapan kegagalan dari pikiran saya sendiri lah yang kemudian memperparah "gangguan mental" yang saya alami.Â
Setelah 3 hari Baby Aam dirawat dan diinkubator di rumah sakit, akhirnya dia pulang ke rumah.
Sebuah kesyukuran, tapi ternyata saya benar-benar mengalami gangguan yang bisa saja jika tidak disertai dengan support system yang baik di sekeliling saya.
Kata sebagian praktisi kesehatan mental hal tersebut bisa berujung dengan istilah "post partum deppression".Â
Bersyukurnya saya memiliki ibu dan suami yang bisa menenangkan kondisi saya.
Saat kondisi mental saya drop, saya tidak mampu menggendong anak saya. Jangankan menggendong, menyentuhnya pun saya tak mau.Â
Saya selalu menangis sejadi-jadinya, menganggap diri saya tak mampu mengurusnya. Tak bisa menjaganya dan tidak mampu menjadi ibu yang baik.Â
Banyak orang yang tidak mengetahui cerita di balik postingan-postingan membahagiakan saya dengan baby Aam sekarang ini, bahwa kami pernah sama-sama melewati masa-masa sulit. Setelah saya melalui masa-masa itu dan mulai pulih karena support dari suami dan ibu saya.
Saya kemudian memahami bahwa orang seperti saya ternyata pernah mengalami baby blues. Sekuat apapun mental seseorang karena kondisi dan situasi yang ada di sekelilingnya, bisa saja mentalnya up and down. Karena itu, mengomentari kondisi orang lain yang betul-betul kita tidak ketahui ada baiknya tidak perlu kita lakukan.Â
Banyak ibu yang karena komentar bahkan judgement dari orang di sekitarnya justru mengusik kewarasannya, bukan malah membantu mereka. Entah berapa banyak ibu yang mengalami post partum bahkan ada yang berujung pada bunuh diri, membunuh dirinya dan anaknya. Naudzubillahi mindzalik.
Saya membagikan kisah ini karena sedang flashback dan tengah menanti kelahiran adiknya baby Aam.Â
Saya telah melalui hal-hal yang membelajarkan selama bersama Aam. Bahwa menjadi seorang ibu dan orangtua bukan sekedar melahirkan keturunan tapi sebuah proses panjang, yang poinnya ada pada proses kita mendampingi mereka dalam menjalani hari-hari mereka di dunia.
Akhirnya, saya menarik nafas panjang. Saya percaya bahwa apa yang sudah digariskan Tuhan pada saya waktu itu adalah yang terbaik untuk saya.
Harapan saya, Anak-anak saya kelak tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat. Dan sekarang saya kembali mempersiapkan mental saya untuk menyambut anak kedua saya dengan penuh cinta. Insyaallah! Saya tidak ingin, baby blues untuk kedua kalinya!Â
Semoga bisa menjadi pelajaran bagi ibu-ibu baru lainnya. Ingat, hal penting yang perlu kalian tahu bahwa kalian manusia, kalian bisa saja salah, kalian perlu terus belajar.Â
Allah menitipkan bayi mungil artinya kalian dipercaya untuk merawat sesuai dengan kemampuan kalian. Yang perlu kalian lakukan hanya memberikan bayi mungil itu cinta dan rasa aman ketimbang mempedulikan komentar negatif dari orang lain, karena tidak ada yang lebih mencintai anak ketimbang orangtuanya sendiri dan bagi anak tidak ada yang lebih penting dari kasih sayang orang tuanya.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H