Hari itu, kita berkumpul dengan penuh haru. Memandang satu per satu muka-muka penuh harap, mata-mata penuh doa, dan senyum-senyum kegelisahan.
“Hey, lihat wajah monsieur!” seorang temanku sambil menunjuk ke arah Kepala Sekolahku.
Mata bekas air mata yang mengalir dan wajah yang suram seolah menandakan ketidakbahagiaan.
Ketika beliau membagikan kertas hasil ujian kami, ada beberapa temanku yang menangis ketika membukanya. “Gue gak lulus,” celoteh kawanku sambil berteriak sesal.
Namun, tak beberapa lama kemudian, monsieur berteriak, “Kalian lulus semua!” sambil tertawa melihat keharuan yang tergambar disana.
“Yeahh huuu!” teriak kami serentak.
Disana aku memperhatikan wajah-wajah ceria cair. Hingga kini, harapan kami dan guru-guru kami sebagai hasil didikan penuh suka dan duka, berusaha kami wujudkan sedikit demi sedikit. Kami berusaha untuk sukses dengan jalan kami dan dengan potensi kami yang sudah kami gali dengan bimbingan guru kami.
Aku berusaha menerapkan apa yang sudah guruku berikan, dan berusaha menjadi seperti mereka yang ku sebut empat serangkai ketika menemui kesulitan.
Hingga aku merasa bosan dengan rutinitasku, aku mencoba mencari kabar tentang sekolahku, khususnya empat serangkai itu.
“Do, Monsieur udah ga jadi kepsek loh!” seorang adik kelasku memberitahuku.
Dalam hati, aku protes, ada apa? Mengapa? Beliau adalah ketua dari empat serangkai yang membuat sekolahku terkenal ke penjuru kota. Beliau adalah satu dari empat serangkai yang membuat potensi kami tergali. Bahkan dengan caranya jugalah yang membuat dinding sekolah kami dan lemari piala di sekolah kami terisi bahkan hingga tak muat.