Entah apa yang terlintas dalam pikiranku, hingga akhirnya aku rindu masa-masa sekolahku dulu. Ya, di tempat itu. Di tempat aku menemukan potensi yang mampu ku kembangkan hingga kini. Di masa itu, aku menemukan orang-orang dengan mimpi besar, menatap mata para guru berhati mulia. Masa sekolahku kali ini bukan masa sekolah dasar dan menengah pertama, tapi masa sekolah mengengah atas.
Memang benar kata orang, masa SMA adalah masa indahnya meniti cerita. Ahh, betapa indahnya masa itu, hingga sulit ku berkata banyak tanpa air mata. Kali ini aku tak ingin bercerita tentang masa SMA-ku, aku takut menitihkan air mataku. Lebih baik aku menyeduh teh di dapur dan membawa minumanku ke teras rumahku sambil menghirup udara sore sambil bersantai ria.
“slurpp...,” suara saat aku menyeruput secangkir teh yang ku buat. Manis yang kurasakan saat menyeruput teh, seakan membawaku mengingat manisnya kisah masa SMA-ku. Aku mengenal cita, cinta, dan harapan saat masa itu. Aku diajarkan empat serangkai guru di tahun pertama sekolahku berdiri, sebuah cita-cita besar yang diawali dengan kesabaran dan tekad yang besar.
Mereka adalah guru-guru yang berusaha mendidik dengan penuh cinta kasih. Mengajarkan kepada kita meniti karir dan menjadi seorang yang besar itu berawal dari nol. Kesabaran empat serangkai tersebut yang membuat sekolahku sangat dicintai para pencari ilmunya.
“ahh untuk apa aku mengingat masa itu..,” sergahku seraya menolak air mata untuk turun dari persandingannya.
Aku mencoba melupakan masa itu. Aku berdiri dan berjalan untuk membuka pagar rumahku. Tak sengaja aku melihat dua ekor kucing sedang bersanding dengan penuh kasih sayang, seolah mengantarkanku ke masa SMA-ku yang penuh cinta.
Aku teringat ketika aku baru mengenal cinta pada masa itu. Aku memang masih sangat lugu untuk merasakan dan menjalankan cerita cinta, tapi entah mengapa rasa yang mendorongku untuk menyayangi itu timbul setelah melihat bidadari cinta.
Kasih dan sayang yang juga datang dari rasa persahabatan para pengejar ilmu. Dimana kami saling mengukir canda dan tawa bersama-sama. Kasih dan sayang yang diberikan dari makhluk-makhluk Tuhan tanpa tanda jasa pun tak luput dari ingatanku. Ya, aku ingat, seberapa sering aku menangis ketika ditegur dan diajak berbincang di ruangan kepala sekolah. Teringat ketika protesku ditanggapi dengan penuh kasih, resahku ditanggapi dengan senyuman, hingga kelakuanku ditanggapi teguran dengan bahasa lemah lembut dari mereka yang kusebut empat serangkai.
“Ah..,” aku terkaget ketika sepeda motor lewat saatku memandang sepasang kucing itu, sambil mengusap bulir air mata yang mulai terlinang.
Aku berjalan menuju sebuah lapangan hijau dengan udara segar dekat rumahku, sambil terduduk dan menatap langit.
“Indahnya..,” dalam hati ku berbicara. Melihat birunya langit yang dihiasi ratusan burung yang berterbangan, seolah mengingatkanku ketika hari terakhirku bersama dengan teman-teman dan guru-guruku.