Mohon tunggu...
Alfred Samudra
Alfred Samudra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pria yang biasa-biasa saja tetapi doyan mengulik hal-hal yang remeh-temeh hingga yang njlimet; mulai dari urusan dapur hingga isu-isu sosio-hukum dan kemanusiaan. Suka baca dan juga suka DIA tentunya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kretek: Merawat Identitas Lintas Batas

3 Desember 2023   13:15 Diperbarui: 5 Desember 2023   09:32 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tergoda mengawali tulisan ini dengan sedikit membagikan kesan usai menonton serial "Gadis Kretek" yang dirilis pada awal November 2023. Film yang diadaptasi dari novel gubahan Ratih Kumala, dengan judul yang sama persis, cukup memadai menggambarkan dunia perkeretekan yang kental dengan aspek historis serta dipadatkan dengan seabrek isu bahkan polemik, seperti: 'rivalitas' para pengusaha kretek, percintaan, ketimpangan gender, hingga yang 'ngeri-ngeri sedap' yakni menyentil peristiwa 30 September 1965, dll. Ini menyiratkan tentan kretek yang memang bisa ditautkan dengan setiap unsur sosio-kemasyarkatan.

Rasa-rasanya, perlu disclaimer bahwa saya tentu tidak diminta apalagi dibayar oleh pihak produser atas narasi impresi tersebut. Lebih lanjut lagi, saya tidak bermaksud mereduksi ulasan tentang sigaret kretek tangan pada bagian selanjutnya ke dalam kesan terhadap Gadis Kretek semata dan sekiranya uraian kesan sebelumnya tidak membiaskan isi tulisan ini.

Selalu menarik dan relevan mengulik topik seputar perkeretekan, utamanya di sini ialah sigaret kretek tangan (SKT). Permenkeu RI No. 43/Pmk.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Tembakau mengartikan SKT sebagai sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkeh, atau bagiannya, baik asli ataupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. Dari definisi tersebut, tersirat pihak-pihak yang terlibat dalam penyuksesan industri SKT; mulai dari petani (tembakau dan cengkeh), buruh pabrik, pengelola, distributor, hingga konsumen. Terbayang sirkulasi aktivitas yang begitu luas.

Menimbang Kontribusi

Tidak bisa dinafikan, industri SKT terlibat banyak dalam menggerakan roda perekonomian nasional dan daerah serta secara simultan turut mengepulkan asap dapur di tiap rumah, pertanda denyut kehidupan terus berlanjut. Melansir data Kementerian Keuangan, target penerimaan negara dari cukai rokok pada 2021 sebesar Rp. 173,7 triliun, sebesar Rp. 3, 47 triliun dianggarkan untuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) kepada masing-masing daerah pemasok yang selanjutnya dikelola pemerintah daerah. Jumlah yang begitu fantastis tentu sangat suportif dalam merealisasikan kebijakan dan program para pemangku kepentingan dalam mengurai polemik-polemik sosial-kemanusiaan semisal pengentasan kemiskinan.

Kelangsungan industri SKT, seperti disentil sebelumnya, juga berkat keterlibatan banyak pihak. Pertama, di hulu bisnis ada petani tembakau dan cengkeh. Dikonfirmasi data dari Kementerian Petanian (Kementan), terdapat 603.488 petani tembakau yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2021. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan setahun sebelumnya yakni 595.498 petani. Tangan-tangan cekatan para petani dan buruh tembakau tersebut mampu menghasilkan 200.000 ton tembakau per tahunnya. Sementara akumulasi petani cengkeh justru lebih banyak, terdapat 1.070.444 petani cengkeh di seantero Nusantara pada 2021. Kedua, sektor pekerja pabrik. Industri Hasil Tembakau tergolong tinggi dalam penyeparan tenaga kerja seperti Kudus (30%), Temanggung (27,6%), dan Kediri (26%).  

    Disinyalir jumlah tenaga kerja industri SKT didominasi perempuan berusia muda terkhusus di bagian produksi. Serapan tenaga kerja yang begitu tinggi merupakan pertanda baik di tengah karut marut bangsa yang senantiasa dilanda nestapa kemiskinan yang mana penyebab dominannya ialah pengangguran. Belum lagi jika mengulik soal fenomena PHK, yang semakin rentan terjadi dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja, kompleksitas permasalajan makin njlimet. Sesungguhnya jika diperluas, tangan-tangan tenaga kerja industri SKT telah turut menyumbang naiknya derajat kesejahteraan dan angka harapan hidup orang-orang yang berada di sekitar mereka. Tersimpul jelas misi kemanusiaan yang luhur dalam bingkai tersebut.

Tidak hanya tenaga kerja ataupun kerabat yang terdampak tetapi dalam cakupan yang lebih luas, masyarakat juga turut merasakan berkat. Perlu diketahui, dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) oleh pemerintah daerah dialokasikan untuk bidang kesehatan (25%), bidang kesejahteraan masyarakat (50%), dan bidang penegakan hukum (25%). Acapkali timbul tudingan tak berdasar bahwa keuntungan industri kretek hanya kembali ke kantong-kantong perusahaan dan pekerjanya, padahal praksisnya kucuran dana corporate social responsibility (CSR) nyata untuk publik. Alokasi dana tersebut agak keliru jika dicermati dari aspek persentase alias nominalnya saja tetapi lebih jauh merupakan wujud nyata pemaknaan hakikat manusia sebagai homo socius dan bukan homo himini lupus, sebab itulah panggilan dasar sebagai insan yang manusiawi yakni ada untuk sesama.

Aroma Pertentangan

Aspek kesehatan kerapkali diungkit tatkala sepak terjang industri SKT begitu laju, tersirat kesan bahwa industri ini mengabaikannya. Padahal tak persis demikian. Fenomena yang menarik dielaborasi, tidak sedikit pihak yang 'menghadang' laju industri SKT utamanya dari kalangan kesehatan dalam bentuk kampanye agar Pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), konvensi internasional terkait pengendalian tembakau. Upaya tersebut seakan mendapat restu dari WHO yang mengukuhkan tanggal 31 Mei tiap tahun sebagai Hari Tanpa Tanpa Tembakau Sedunia.

Disinyalir aneka kondisi ini memiliki tautan erat dengan fenomena nicotine war (perang nikotin) pada skala global. Ringkasnya terkait fenomena ini, terdapat sejumlah perusahan farmasi multinasional berkolaborasi memproduksi Nicotine Replacement Therapy (NCT) yang diklaim bisa membantu orang berhenti merokok dan kandungannya lebih sehat dibandingkan nikotin dalam tembakau. Pihak-pihak terkait gencar mengumandangkan 'perang' antitembakau dengan menggandeng serta WHO. Tentunya mereka mengeruk keuntungan yang bejibun.

Uraian faktual semata-mata bukan provokasi apalagi klaim kebencian tetapi lebih merupakan awasan bagi publik untuk jeli mengkritisi laku para pihak yang cenderung manipulatif dan eskploitatif dengan memanfaatkan momentum sebaik mungkin. Alih-alih hendak menawarkan alternatif untuk kesehatan, justru persekongkolan yang diupayakan. Tak terbayang nasib para petani tembakau (juga cengkeh) di hulu industri SKT yang begitu terpukul dan hari-harinya dibayangi kecemasan dan ketidakpastian. Belum lagi jika mengulik perihal jaminan kemanjuran produk NCT yang ditawarkan, perlu dipertanyakan.

Hemat saya, dalam konteks keberadaan segmen SKT aspek kesejahteraan tenaga kerja patut menjadi sentralitas perhatian. Unsur-unsur mengenai upah buruh, jam kerja, beban kerja, jamsostek (jaminan sosial ketenagakerjaan) hingga hak cuti (bagi perempuan hamil misalnya) harus menjadi prioritas perusahaan. Terkhusus mengenai sensivitas isu gender, seperti yang dominan ditampilkan dalam serial Gadis Kretek, harus diperhatikan serius oleh perusahaan tidak hanya tataran pembagian wilayah kerja tetapi juga perlakuan terhadap mereka tidak boleh diskrimatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun