Saya yakin kita semua pasti sepakat bahwa narkoba merupakan salah satu persoalan serius bangsa ini yang harus segera ditangani. Meskipun proses kerjanya tidak kelihatan di publik, tetapi efeknya sangat besar untuk masyarakat. Selama ini, pemerintah (katanya) sudah serius melakukan pemberantasan narkoba, mulai dari produsen, bandar, agen, distributor hingga pada konsumen.Â
Namun, fakta mengejutkan bahwa dalam dua bulan terakhir 2018, hampir 3 ton narkoba jenis sabu telah masuk ke Indonesia, untung saja pihak yang berwewenang dapat menangkap sinyal, hingga jutaan ton sabu tersebut tidak sampai beredar ke masyarakat (Sumber: Kompas.com, 23/02/18).Â
Menguasai Indonesia Melalui Narkoba?
Berbagai metode diciptakan dan dikembangkan oleh jaringan sindikat narkoba untuk mempertahankan kesinambungan pasar atau konsumen. Salah satunya dengan metode "regenerasi pasar". Metode ini diimplementasikan dengan cara mencekoki anak-anak usia dini dengan narkoba yang "dikamuflasekan" di dalam makanan atau candy.Â
Tujuannya agar sejak usia dini sudah aktif menjadi pengguna narkoba (secara tidak disadari), sehingga tubuhnya akan mengalami toleransi terhadap narkoba dan psikologis serta mentalnya akan mengalami adiksi atau ketergantungan, sehingga diusia remaja atau dewasa nanti yang bersangkutan akan menjadi pengguna aktif atau pencandu narkoba dan menjadi pangsa pasar potensial peredaran gelap narkoba.
Perang candu di China tahun 1840 -- 1842 adalah bukti nyata bahwa narkoba sangat ampuh digunakan sebagai "alat" (kekuatan terselubung) untuk menguasai negara lain. Berpikir analogi dengan perang candu yang terjadi di pertengahan abad 18 -- 19 tersebut, rasanya jadi masuk akal apabila ada beberapa orang yang punya analisis "jangan-jangan Indonesia sedang mengalami serangan dari negara lain dengan menggunakan narkoba sebagai "senjata" atau "alat" untuk menghancurkan kekuatan dan kedaulatan bangsa Indionesia" atau istilah kerennya sebagai proxy war atau perang asimetris.
Negara lain sudah dengan sangat matang perencanaannya untuk menguasai Indonesia, tetapi tragisnya bangsa Indonesia sendiri tidak merasakan apa-apa atau tidak menyadari adanya serangan tersebut.
Buktinya, suplai narkoba sebegitu besarnya (ratusan ton pertahun), angka pengguna sebegitu banyaknya (lebih dari 5 juta orang data tahun 2015), kematian 40 -- 50 orang tiap hari akibat mengkonsumsi narkoba, tetapi rasanya hanya Polri, BNN, dan Bea Cukai yang concern dan bekerja keras memberantas penyelundupan narkoba.
Kesuksesan pengungkapan, penangkapan bandar, dan penyitaan barang bukti narkoba oleh lembaga tersebut sejatinya hanya sebagai "pemadam kebakaran" manakala demand tidak tertangani dengan baik dan kita gagal mengendalikan laju pertumbuhannya. Bagaimana dengan lembaga pemerintah yang lain? Bagaimana dengan elemen bangsa yang lain? Apakah sudah berkontribusi nyata? Jawabnya, masyarakat bisa menilai sendiri.
Ironisnya lagi, Presiden sudah berulang kali menyatakan darurat narkoba, tetapi direspons dengan biasa-biasa saja. Akankah bangsa Indonesia menjadi kelinci percobaan negara-negara lain dalam mengaplikasikan metode "perang candu" di era modern saat ini? Jawabnya ada pada benak pikiran kita masing-masing.
Selain motivasi proxy war sebagaimana telah diuraikan di atas, keuntungan finansial yang luar biasa besarnya juga memotivasi sindikat narkoba menjalankan bisnisnya. Keuntungan finansial yang luar biasa besarnya tersebut dapat digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan, termasuk kegiatan berbagai agenda politik atau kegiatan terorisme (narco-terrorism). Agenda yang manakah yang tengah terjadi di Indonesia dewasa ini ? Jawabnya, masih diperlukan kajian yang mendalam terkait dengan fakta-fakta yang tengah terjadi dewasa ini. Karena Indonesia negara yang amat sangat kaya raya sumber daya alam.