Mohon tunggu...
Alfred Nabal
Alfred Nabal Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Scripta Manent Verba Volant

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kevin Lynch dan Pembangunan Kota

14 Januari 2021   17:40 Diperbarui: 14 Januari 2021   17:44 2898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembangunan Kota (Gambar: Kompas.com)

Kevin Andrew Lynch (1918-1984), seorang perencana dan penulis perkotaan asal Amerika menulis sebuah buku berjudul A Theory of Good City Form di tahun 1981 untuk memberikan jawaban terhadap satu pertanyaan ini: Apa yang membuat sebuah kota dikatakan baik atau ideal? Dia memulainya dengan melihat kembali tiga teori normatif (kota sebagai medium hubungan manusia dengan Tuhan, mesin industri, organisme hidup) untuk menjelaskan upaya manusia (atau masyarakat) mencari bentuk yang ideal atas tempat mereka hidup dan berkehidupan.

Tiga teori normatif ini menunjukkan keterhubungan antara nilai-nilai manusia dengan bentuk permukimannya. Bagi teori normatif, bentuk kota ideal dilihat dari sejauh mana nilai-nilai yang dianut oleh manusia termanifestasikan dalam bentuk fisik permukiman mereka tinggal.

Terdapat tiga keberatan Lynch atas teori normatif. Pertama, tidak adanya teori normatif kontemporer yang memadai untuk menjelaskan bentuk kota yang baik. Kedua, sifat teori normatif yang menurutnya telah menggeneralisir nilai-nilai manusia; sesuatu yang kontradiktif jika melihat keberagaman nilai-nilai manusia dalam suatu permukiman, sehingga tidak bisa terwakilkan hanya oleh nilai-nilai yang digeneralisir itu. Generalisasi ini tidak lain hanyalah bentuk pemaksaan suatu nilai (budaya) atas nilai lain dalam suatu kota. Ketiga, pandangan teori normatif yang bersifat parsial, yaitu melihat idealitas suatu kota hanya dari bentuk fisiknya. Keberatan-keberatan ini mendasari Lynch untuk merumuskan suatu bentuk kota yang baik atau ideal melalui lima kriteria dan dua meta kriteria, yang disebut dimensions performance.

Dimensions performance merupakan cara untuk mengukur bentuk ideal suatu kota melalui kriteria-kriteria yang bisa ditetapkan melalui skala terukur dan setiap kelompok masyarakat memiliki preferensinya (pilihannya sendiri) terhadap kriteria-kriteria ini. Bagi Lynch, nilai-nilai pada manusia adalah beragam, sehingga tidak bisa digeneralisir.  Melalui kriteria-kriteria ini, Lynch berpandangan akan lebih mudah untuk menentukan indikator apa yang perlu untuk membuat suatu kota layak disebut ideal. Terdapat lima kriteria yang ditetapkan Lynch, yaitu vitality, sense, fit, access, dan control. Selain itu, terdapat dua meta kriteria yang menyertai atau mendukung masing-masing kriteria dasar. Dua meta kriteria tersebut adalah efficiency dan justice.

Vitality merujuk pada kemampuan permukiman memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Sense merujuk pada interaksi antara manusia dengan permukiman. Kota memiliki sense yang baik jika struktur mental ruang memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut oleh manusianya. Fit adalah ukuran kesesuaian antara perilaku dan tindakan manusia dengan kapasitas ruang yang dimilikinya. Access adalah kemampuan untuk menjangkau orang lain, sumber daya, layanan, dan sebagainya.

Control adalah sejauh mana manusia yang mendiami suatu kota memiliki kontrol yang baik terhadap aktivitas yang terdapat dalam kota tersebut. Efficiency merujuk pada biaya dan nilai-nilai lain untuk mencapai tingkat vitalitas, kepekaan, kesesuaian, akses, dan kontrol. Justice merujuk pada manfaat dan biaya lingkungan didistribusikan di antara orang-orang, sesuai dengan prinsip tertentu seperti ekuitas, kebutuhan, nilai intrinsik, kemampuan membayar, upaya yang dikeluarkan, kontribusi potensial, atau kekuasaan.

Kritik Terhadap Lynch: Pengaruh Globalisasi dan Pandangan Antroposentris

Setelah diterbitkannya karya A Theory of Good City Form Kevin Lynch ini pada lebih dari tiga dekade lalu, dunia secara umum dan permukiman manusia secara khusus mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan pertama dilatarbelakangi oleh pengaruh globalisasi yang menyatu dengan kemampuan manusia dalam bertekonologi.

Perkembangan kedua adalah munculnya pandangan baru tentang pembangunan yang tidak lagi berpusat pada manusia saja (antroposentris), melainkan juga menjamin kondisi lingkungan alam tetap terjaga secara baik, sehingga bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Pandangan pembangunan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya wacana pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan menjadi tajuk pembangunan di berbagai sektor kehidupan manusia hari ini. Dua perkembangan ini menjadi titik pijak saya dalam memberikan kritik atas karya Kevin Lynch tentang pandangannya terhadap teori normatif dan dimensions performance yang dijabarkannya pada tahun 1981.

Ihwal kapan dimulainya fenomena globalisasi dalam peradaban manusia tidak diketahui secara pasti. Para ahli sendiri memiliki pandangan yang beragam tentang permulaan munculnya globalisasi dalam sejarah manusia. Sejumlah pandangan menyatakan, globalisasi dimulai sejak milenium ketiga sebelum masehi. Beberapa pandangan lainnya melihat permulaan globalisasi ketika teknologi pelayaran berkembang di Eropa, sehingga terjadinya perjalanan ke belahan dunia yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui.

Sejak saat itu, perdagangan lintas negara menjadi ramai dilakukan. Pandangan lainnya menyatakan, globalisasi bermula sejak era revolusi industri berkembang di Inggris pada abad ke-18. Saya sendiri tidak ingin mempersoalkan terlalu jauh tentang ini, karena fokus tulisan saya tertuju pada efek masif globalisasi dalam perkembangan dunia hari ini, beserta dampaknya terhadap permukiman manusia di abad ke-21. Karena itu, saya mengambil titik pijak dalam melihat globalisasi sejak istilah ini sering digunakan dalam percakapan manusia, yaitu pada pertengahan tahun 1990-an.

Banyak definisi untuk menjelaskan globalisasi, karena konsep globalisasi sendiri cukup rumit. Anthony Giddens (1991), seorang sosiolog berkebangsaan Inggris memahami globalisasi dari aspek hubungan sosial dunia yang dilakukan secara intensif, sehingga kejadian di satu tempat dipengaruhi dan mempengaruhi kejadian di tempat lain yang berjarak ratusan kilometer. Atau Roland Robertson (1992), dosen sosiologi Universitas Aberdeen melihat globalisasi sebagai pemadatan dunia dan pemahaman kesadaran dunia secara keseluruhan.

Jurnalis Swedia, Thomas Larson (2008) menyatakan, pemadatan atau penyusutan dunia ini ditandai dengan semakin pendeknya jarak dan mudahnya interaksi manusia, tidak peduli di mana pun dia berada. Saya lebih menyukai definisi sosiolog Martin Albrow dan Elizabeth King (1990) yang melihat globalisasi sebagai proses yang menyatukan penduduk dunia menjadi satu masyarakat dunia yang tunggal. Jika dipadukan dengan empat dimensi globalisasi yang dikemukakan oleh Manfred Steger (2003), globalisasi adalah proses penyatuan penduduk dunia melalui dimensi ekonomi, politik, budaya, dan ekologi. Satu dimensi lainnya yang mengitari empat dimensi ini (disebut meta-dimensi) adalah dimensi ideologi.

Globalisasi menjadi fenomena yang mengubah tatanan masyarakat dunia yang semakin mengaburkan batas-batas wilayah. Perubahan ini terutama dipicu oleh kemampuan manusia dalam menciptakan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi ini terutama terjadi memasuki abad ke-21. Orang-orang sangat mudah untuk berinteraksi satu sama lain. Manusia yang mendiami perkotaan di seluruh dunia mengalami dampak globalisasi yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Pemicu kedua adalah semakin terbukanya sistem perekonomian negara-negara di dunia. Negara-negara maju dan berkembang semakin mudah melakukan pertukaran di bidang perdagangan, produksi, dan keuangan. Bisa dikatakan, liberalisasi yang terjadi pada sistem ekonomi dunia mempercepat globalisasi.

Pemicu ketiga didasari oleh dinamika dan perkembangan politik dunia. Pasca jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dunia praktisnya dikuasai oleh paham demokrasi. Demokrasi ini memungkinkan setiap orang bisa berpartisipasi politik. Demokrasi meniscayakan percepatan globalisasi. Pemicu ke lima adalah wacana pembangunan berkelanjutan yang menitikberatkan pada penyelamatan ekologi menjadi agenda global yang menyatukan negara-negara di dunia dan mempengaruhi agenda pembangunan nasionalnya.

Pemicu-pemicu inilah yang menyebabkan terjadinya integrasi secara global karena adanya pertukaran pandangan, produk, pemikiran, nilai-nilai, dan kebudayaan. Dengan terjadinya integrasi atau penyatuan ini, nilai-nilai global yang homogen akan muncul dan mempengaruhi aspek-aspek pembangunan manusia, salah satunya adalah perkembangan permukiman manusia yang disebut kota. Mengenai hal ini, Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff (2002) menjelaskan munculnya kota global di negara-negara berkembang Asia Tenggara yang dipicu oleh globalisasi. Kota-kota global ini tercermin melalui gedung-gedung tinggi apartemen dan kantor, hotel, pusat perbelanjaan, restoran cepat saji kelas dunia, jalan layang dan tol, real estate, dan banyak aspek fisik lainnya.

Perkembangan globalisasi yang masif terjadi sepeninggal Kevin Lynch di tahun 1984 bagi saya adalah antitesis atas ketidakpuasannya tentang generalisasi nilai dan teori normatif. Fenomena globalisasi sejak tahun 1990-an hingga hari ini telah melampaui makna generalisasi nilai yang menjadi basis pemikiran teori normatif. Globalisasi bahkan membentuk homogenitas nilai yang menjadi dasar perkembangan peradaban manusia saat ini. 

Terlepas dari adanya pandangan positif maupun negatif tentang globalisasi beserta dampak yang ditimbulkannya, saya tidak ingin terjebak pada bias pandangan ini, tetapi hanya memfokuskan pada kenyataan bahwa globalisasi adanya fenomena yang mengatur pola hidup manusia global saat ini. Lahirnya nilai-nilai global yang homogen ini mempertegas keberadaan teori normatif, yang hari ini tidak lagi berbasiskan generalisasi nilai, tetapi homogenitas nilai. Karena itu, keraguan Lynch tentang tidak adanya teori normatif kontemporer untuk menjelaskan bentuk kota yang baik dengan sendirinya terjawab dengan kehadiran globalisasi ini. Pada titik ini saya berpandangan, kota global (global city) bisa menjadi teori normatif ke empat untuk menjelaskan bentuk kota.    

Perkembangan dunia lainnya pasca Kevin Lynch adalah bergesernya pandangan dunia tentang pembangunan dari antroposentrisme menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Antroposentrisme merupakan suatu cara pandang atau paham yang melihat manusia sebagai pusat dan paling penting dibandingkan spesies lainnya. Ada pun lingkungan tempat tinggal manusia ditempatkan sebagai objek yang melayani kepentingannya.

Dalam pengertian yang lainnya, antroposentrisme merujuk pada persepsi atau penilaian suatu kenyataan dari sudut pandang manusia secara ekslusif. Pemahaman tentang antroposentrisme ini bisa digali dari pemikiran seorang filsuf klasik seperti Aristoteles dan para filsuf modern seperti Rene Descartes dan Immanuel Kant. Menurut Aristoteles (384 SM--322 SM), keberadaan tumbuhan adalah untuk memenuhi kebutuhan hewan. Pandangan ini menempatkan posisi hewan, termasuk manusia sebagai ciptaan yang memiliki hak atas lingkungan tempatnya tinggal. Pemikiran lainnya yang menjadi dasar pandangan antroposentrisme muncul dari Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan derajat manusia lebih terhormat dibandingnya makhluk lain di bumi. Kehormatan ini dimiliki oleh manusia karena dialah satu-satunya yang memiliki akal.

Dengan akal yang dimilikinya, manusia bisa berbuat sesuatu terhadap lingkungannya dan menguasai makhluk hidup lainnya. Pandangan antroposentrisme ini berkembang sejak abad renaisance (abad ke 14-17), lalu berlanjut ke zaman modern (abad 18-20). Pandangan antroposentrisme menyasar ke berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek pembangunan. Munculnya revolusi industri pertama adalah keberhasilan besar pembangunan yang dilandasi pandangan antroposentrisme, dan banyak mengubah wajah dunia.

Menjelang akhir abad-20, gugatan atas pandangan antroposentrisme ini menguat, terutama ketika semakin memburuknya keadaan lingkungan hidup. Banjir terjadi di mana-mana, menurunnya keanekaragaman hayati, bencana kekeringan, perubahan iklim akibat pemanasan global, dan banyak hal lainnya memicu kekhawatiran manusia di dunia akan kelangsungan hidupnya di masa depan.

Kekhawatiran ini melahirkan upaya untuk membenahi pembangunan-pembangunan di dunia agar tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia pada masa tertentu, lalu mengorbankan manusia pada masa selanjutnya. Variabel penting pembenahan ini adalah kelestarian lingkungan. Upaya ini dimulai pada tahun 1972 melalui konferensi PBB mengenai lingkungan di Stockholm, Swedia. Namun, kampanye penyelamatan lingkungan ini belum masif ketika itu. Di bidang pengetahuan, perkembangan pentingnya terjadi pada tahun 1990, ketika ekologi perkotaan menjadi bidang studi interdisipliner. Memasuki abad ke-21, wacana dan agenda penyelamatan lingkungan hidup begitu masif.

Ada agenda Millennium Development Goals (MDGs) sejak tahun 2000-2015 yang disepakati oleh 189 negara. Kemudian berlanjut kepada agenda Sustainable Development Goals (SDGs) dari tahun 2015-2030 yang diikuti oleh 193 negara. Wacana dan agenda global ini menunjukkan, pola pembangunan di abad ke-21 menempatkan prinsip keberimbangan antara kebutuhan manusia (ekonomi dan sosial) dan kelestarian lingkungan. Dengan demikian, upaya pemenuhan kebutuhan manusia hari ini tidak akan mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (sustainable development). Dan, pembangunan kota pun menggunakan cara pandang yang demikian.

Perkembangan dunia yang ditandai dengan pandangan berkelanjutan (sustainable) ini adalah basis argumentasi yang kuat dalam memberikan kritik terhadap dimensions performance Kevin Lynch. Lima kriteria dan dua meta kriteria yang dirumuskan Lynch sebagai indikator kota yang baik dipengaruhi oleh cara pandang yang antroposentris. Kriteria dan meta kriteria tersebut semuanya berbicara tentang apa yang bisa dinikmati oleh manusia dari tempatnya bermukim. Nilai dan kepuasan manusia menjadi standar tunggal yang dipakai untuk menilai kotanya.

Dengan kata lain, Lynch memberikan dasaran tentang kota yang baik pada skala kepuasan manusia atas lingkungan tempatnya berada. Hal ini tentu tidak sejalan dengan pandangan baru yang mensyaratkan keberimbangan antara nilai atau kebutuhan manusia dengan kelestarian lingkungan. Perlu suatu pembaharuan agar teori Kevin Lynch ini menjadi relevan dalam menjelaskan kota yang baik atau ideal di abad ke-21.         

Pembaharuan atas Good City Form

Ketidakpuasan Kevin Lynch atas teori normatif yang menjelaskan keterhubungan nilai-nilai manusia dengan bentuk fisik perkotaan telah terjawab dengan munculnya konsep kota global (global city) sebagai landasan normatif baru dan kontemporer. Kota global ini lahir dari fenomena globalisasi yang masif terjadi di abad ke-21 ini juga sekaligus menjawab perdebatan tentang generalisasi nilai yang dipersoalkannya. Atas dua ketidakpuasan Lynch yang telah terjawab ini, kini hanya tinggal satu ketidapuasannya yang belum terjawab, dan hal tersebut menjadi satu-satunya landasan bagi penjabaran dimensions performance. Ketidakpuasan tersebut adalah pandangan teori normatif yang bersifat parsial, yaitu melihat bentuk ideal suatu kota hanya dari bentuk fisiknya. Untuk satu hal ini, saya sependapat dengan pandangan Kevin Lynch.

Karena tidak semua ketidapuasan Lynch terjawab, kriteria dan meta kriteria dalam dimensions performance yang dijabarkannya masih menjadi indikator penting dalam menentukan bentuk kota yang baik. Akan tetapi, perlu pembaharuan atas kriteria dan meta kriteria tersebut dengan mempertimbangkan relevansinya dengan cara pandang pembangunan di masa sekarang. Pembaharuan tersebut dilakukan untuk melengkapi apa yang belum dimasukkan Lynch dalam dimensions performance, yaitu dimensi ekologi berkelanjutan (sustainable ecology).

Pertanyaannya adalah: apakah dimensi ekologi berkelanjutan ini ditempatkan sebagai kriteria atau meta kriteria, atau di luar keduanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu menggalinya kembali melalui prinsip pembangunan berkelanjutan, bahwa pola pembangunan dalam kehidupan manusia perlu memperhatikan keberimbangan antara nilai kebutuhan manusia, baik ekonomi maupun sosial dengan kelestarian lingkungan. Dengan memegang teguh prinsip ini, maka dimensi ekologi berkelanjutan menjadi meta kriteria ketiga (setelah efficiency dan justice) yang berfungsi untuk memastikan keberimbangan pembangunan kota dengan upaya pemenuhan nilai kebutuhan manusia melalui lima kriteria dasar yang telah diajukan Lynch tiga dekade lalu.

Alfred Nabal, Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun