Mohon tunggu...
Alfred Nabal
Alfred Nabal Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Scripta Manent Verba Volant

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kevin Lynch dan Pembangunan Kota

14 Januari 2021   17:40 Diperbarui: 14 Januari 2021   17:44 2898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembangunan Kota (Gambar: Kompas.com)

Sejak saat itu, perdagangan lintas negara menjadi ramai dilakukan. Pandangan lainnya menyatakan, globalisasi bermula sejak era revolusi industri berkembang di Inggris pada abad ke-18. Saya sendiri tidak ingin mempersoalkan terlalu jauh tentang ini, karena fokus tulisan saya tertuju pada efek masif globalisasi dalam perkembangan dunia hari ini, beserta dampaknya terhadap permukiman manusia di abad ke-21. Karena itu, saya mengambil titik pijak dalam melihat globalisasi sejak istilah ini sering digunakan dalam percakapan manusia, yaitu pada pertengahan tahun 1990-an.

Banyak definisi untuk menjelaskan globalisasi, karena konsep globalisasi sendiri cukup rumit. Anthony Giddens (1991), seorang sosiolog berkebangsaan Inggris memahami globalisasi dari aspek hubungan sosial dunia yang dilakukan secara intensif, sehingga kejadian di satu tempat dipengaruhi dan mempengaruhi kejadian di tempat lain yang berjarak ratusan kilometer. Atau Roland Robertson (1992), dosen sosiologi Universitas Aberdeen melihat globalisasi sebagai pemadatan dunia dan pemahaman kesadaran dunia secara keseluruhan.

Jurnalis Swedia, Thomas Larson (2008) menyatakan, pemadatan atau penyusutan dunia ini ditandai dengan semakin pendeknya jarak dan mudahnya interaksi manusia, tidak peduli di mana pun dia berada. Saya lebih menyukai definisi sosiolog Martin Albrow dan Elizabeth King (1990) yang melihat globalisasi sebagai proses yang menyatukan penduduk dunia menjadi satu masyarakat dunia yang tunggal. Jika dipadukan dengan empat dimensi globalisasi yang dikemukakan oleh Manfred Steger (2003), globalisasi adalah proses penyatuan penduduk dunia melalui dimensi ekonomi, politik, budaya, dan ekologi. Satu dimensi lainnya yang mengitari empat dimensi ini (disebut meta-dimensi) adalah dimensi ideologi.

Globalisasi menjadi fenomena yang mengubah tatanan masyarakat dunia yang semakin mengaburkan batas-batas wilayah. Perubahan ini terutama dipicu oleh kemampuan manusia dalam menciptakan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi ini terutama terjadi memasuki abad ke-21. Orang-orang sangat mudah untuk berinteraksi satu sama lain. Manusia yang mendiami perkotaan di seluruh dunia mengalami dampak globalisasi yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Pemicu kedua adalah semakin terbukanya sistem perekonomian negara-negara di dunia. Negara-negara maju dan berkembang semakin mudah melakukan pertukaran di bidang perdagangan, produksi, dan keuangan. Bisa dikatakan, liberalisasi yang terjadi pada sistem ekonomi dunia mempercepat globalisasi.

Pemicu ketiga didasari oleh dinamika dan perkembangan politik dunia. Pasca jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dunia praktisnya dikuasai oleh paham demokrasi. Demokrasi ini memungkinkan setiap orang bisa berpartisipasi politik. Demokrasi meniscayakan percepatan globalisasi. Pemicu ke lima adalah wacana pembangunan berkelanjutan yang menitikberatkan pada penyelamatan ekologi menjadi agenda global yang menyatukan negara-negara di dunia dan mempengaruhi agenda pembangunan nasionalnya.

Pemicu-pemicu inilah yang menyebabkan terjadinya integrasi secara global karena adanya pertukaran pandangan, produk, pemikiran, nilai-nilai, dan kebudayaan. Dengan terjadinya integrasi atau penyatuan ini, nilai-nilai global yang homogen akan muncul dan mempengaruhi aspek-aspek pembangunan manusia, salah satunya adalah perkembangan permukiman manusia yang disebut kota. Mengenai hal ini, Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff (2002) menjelaskan munculnya kota global di negara-negara berkembang Asia Tenggara yang dipicu oleh globalisasi. Kota-kota global ini tercermin melalui gedung-gedung tinggi apartemen dan kantor, hotel, pusat perbelanjaan, restoran cepat saji kelas dunia, jalan layang dan tol, real estate, dan banyak aspek fisik lainnya.

Perkembangan globalisasi yang masif terjadi sepeninggal Kevin Lynch di tahun 1984 bagi saya adalah antitesis atas ketidakpuasannya tentang generalisasi nilai dan teori normatif. Fenomena globalisasi sejak tahun 1990-an hingga hari ini telah melampaui makna generalisasi nilai yang menjadi basis pemikiran teori normatif. Globalisasi bahkan membentuk homogenitas nilai yang menjadi dasar perkembangan peradaban manusia saat ini. 

Terlepas dari adanya pandangan positif maupun negatif tentang globalisasi beserta dampak yang ditimbulkannya, saya tidak ingin terjebak pada bias pandangan ini, tetapi hanya memfokuskan pada kenyataan bahwa globalisasi adanya fenomena yang mengatur pola hidup manusia global saat ini. Lahirnya nilai-nilai global yang homogen ini mempertegas keberadaan teori normatif, yang hari ini tidak lagi berbasiskan generalisasi nilai, tetapi homogenitas nilai. Karena itu, keraguan Lynch tentang tidak adanya teori normatif kontemporer untuk menjelaskan bentuk kota yang baik dengan sendirinya terjawab dengan kehadiran globalisasi ini. Pada titik ini saya berpandangan, kota global (global city) bisa menjadi teori normatif ke empat untuk menjelaskan bentuk kota.    

Perkembangan dunia lainnya pasca Kevin Lynch adalah bergesernya pandangan dunia tentang pembangunan dari antroposentrisme menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Antroposentrisme merupakan suatu cara pandang atau paham yang melihat manusia sebagai pusat dan paling penting dibandingkan spesies lainnya. Ada pun lingkungan tempat tinggal manusia ditempatkan sebagai objek yang melayani kepentingannya.

Dalam pengertian yang lainnya, antroposentrisme merujuk pada persepsi atau penilaian suatu kenyataan dari sudut pandang manusia secara ekslusif. Pemahaman tentang antroposentrisme ini bisa digali dari pemikiran seorang filsuf klasik seperti Aristoteles dan para filsuf modern seperti Rene Descartes dan Immanuel Kant. Menurut Aristoteles (384 SM--322 SM), keberadaan tumbuhan adalah untuk memenuhi kebutuhan hewan. Pandangan ini menempatkan posisi hewan, termasuk manusia sebagai ciptaan yang memiliki hak atas lingkungan tempatnya tinggal. Pemikiran lainnya yang menjadi dasar pandangan antroposentrisme muncul dari Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan derajat manusia lebih terhormat dibandingnya makhluk lain di bumi. Kehormatan ini dimiliki oleh manusia karena dialah satu-satunya yang memiliki akal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun