Film modern yang disajikan dengan esensi-esensi ala film tahun 90-an. Menonton film ini akan membuat anda bernostalgia kembali ke tahun 1990 dengan ciri khas film yang memiliki aspek rasio berbentuk kotak dan berwarna kekuningan serta resolusi yang tidak tajam seperti film modern pada umumnya.Â
Identitas film Â
Judul : Aum!
Sutradara : Bambang "Ipoenk" Kuntara Mukti
Produser : Damar Ardi, Suryo Wiyogo
Rumah produksi : Lajar Tantjap Film
Durasi : 85 menit
Genre : Petualangan, drama, thriller, mockumentary
Tahun rilis : 2021
Tempat penayangan : Bioskop Online
Pemeran : Jefri Nichol, Chicco Jerikho, Aksara Dena, Agnes Natasya Tjie
Harga tiket : Sekitar Rp 35.000,00Â
Film dimulai dengan Bagian I yang berjudul "Pertunjukan". Menceritakan Satriya yang sedang kabur dari kejaran sekelompok orang. Tiba-tiba, Satriya dipukul dan adegan menunjukan Satriya yang berada di mobil berdua dengan seseorang bernama Adam yang sepanjang perjalanan, dialog antara kedua karakter tersebut terasa canggung. Satriya seakan ingin kabur sedangkan Adam selalu mengatakan bahwa tidak ada lagi waktu bagi mereka, mereka harus segera pergi dan sembunyi.Â
Film ini mengambil latar belakang di tahun 1998 yang menceritakan tentang bagaimana perjuangan para aktivis untuk memperjuangkan hak masyarakat kecil. Satriya yang diperankan oleh Jefri Nichol merupakan seorang pemuda yang memiliki ambisi besar mengubah Indonesia melalui reformasi.Â
Dibantu oleh Adam yang diperankan oleh Aksara Dena, perjuangan mereka menegakan keadilan terus menerus dilakukan. Panca merupakan seorang sutradara yang diperankan oleh Chicco Jerikho bersama dengan Linda, seorang produser yang diperankan oleh Agnes Natasya tiba-tiba hadir di tengah-tengah perjuangan Satriya dan Adam. Dapatkah mereka mewujudkan mimpi mereka mengubah Indonesia melalui reformasi?
Film yang disutradarai oleh Bambank "Ipoenk" Kuntara ini membawa konsep baru yang menyegarkan dan jarang ada di film-film Indonesia pada umumnya. Film ini menceritakan tentang sekelompok mahasiswa yang ingin membuat film di tengah kondisi yang sangat sulit untuk mengutarakan pendapatnya.Â
Cerita film ini terbagi menjadi 2 bagian, bagian pertama yang berjudul "Pertunjukan" merupakan film yang menceritakan perjuangan Satriya bersama Adam, dan bagian kedua yang berjudul "Perjalanan" merupakan dokumentasi tentang bagaimana film tersebut dibuat.Â
Film ini memiliki genre drama thriller, namun pada kenyataanya film ini lebih condong ke jenis film mokumenter atau dokukomedi yang jarang sekali ditemukan di film-film Indonesia.Â
Film ini dibuat dengan latar kondisi politik pada tahun 1998 yang mencekam, dimana kebebasan berpendapat sangat dibatasi dan apabila berani bersuara maka akan langsung dibungkam.Â
Panca merupakan seorang sutradara yang idealis memiliki hasrat tinggi untuk membuat film yang sesuai dengan gambaran visualnya. Bersama dengan Linda, seorang produser keras kepala yang ingin agar pesan untuk segera melakukan reformasi dapat tercapai.Â
Keduanya kerap kali terlibat dalam adu mulut karena perbedaan pendapat dimana Panca memfokuskan pada estetika film dan akting para pemain, sedangkan Linda ingin agar estetika film dikesampingkan dan lebih memfokuskan pada pesan yang ingin disampaikan melalui film tersebut.Â
Salah satu contoh perdebatan antara Panca dengan Linda adalah pada adegan ketika Satriya sedang bernyanyi dan Linda merasa bahwa akting Satriya sudah bagus, namun Panca menghentikan nya dan mengatakan bahwa akting tersebut terlalu emosional dan harus sedikit lebih tenang.Â
Mendengar hal itu Linda yang tidak terima langsung adu mulut dengan Panca yang berakhir pada perpecahan kelompok tersebut. Surya Jatitama (Jefri Nichol) yang memerankan Satriya adalah aktor yang baru saja berkecimpung di dunia akting, bersama dengan Bram Sanjaya (Aksara Dena) yang merupakan aktor senior bekerja sama dalam mewujudkan film yang memiliki pesan agar reformasi dapat segera terjadi.Â
Film ini semakin menambah suasana tahun 90-an dengan penggunaan bahasa baku dalam dialog antar pemain, serta perekaman film yang menggunakan aspek rasio 4:3 dengan resolusi rendah.Â
Hal ini berbanding lurus dengan cerita dalam film, dimana film tersebut direkam menggunakan camcorder seadanya. Aspek rasio 4:3 umumnya digunakan oleh stasiun TV Analog pada era sebelum tahun 2000-an. Aspek rasio 4:3 dengan resolusi 640x480 banyak digunakan pada zaman itu karena resolusi tersebut sangatlah bersahabat dengan bitrate dan storage (penyimpanan). (akurat.co, 2018 : 1) Resolusi yang tidak terlalu tajam, pewarnaan film yang sedikit kuning disertai dengan penyediaan audio yang terbatas membuat suasana film ini semakin meyakinkan bahwa film ini adalah film hasil dari kelompok mahasiswa tersebut.Â
Film ini memiliki konsep mokumenter, yaitu karya fiksi yang disajikan dalam gaya dokumenter. (studiobinder, 2022 : 1) Secara singkat, mokumenter adalah dokumenter tiruan, atau parodi terhadap dokumenter suatu bidang. Dalam film ini, objek mokumenter adalah kondisi pembuatan film dibalik layar, yaitu para sutradara, produser, aktor, hingga keseluruhan anggota kru dalam pengerjaan film. Sutradara Bambang "Ipoenk" Kuntara berhasil membuat suasana pengerjaan film dibalik layar terkesan sangat nyata. Penonton seakan masuk ke dalam film dan merasakan secara langsung proses pembuatan film tersebut.Â
Karena film ini mengusung genre mokumenter dan pada bagian kedua ditunjukan bagaimana proses dibalik layar, para aktor sekaligus pemain dituntut untuk dapat memerankan 2 karakter dalam 1 film. 1 karakter untuk film pada bagian pertama, dan 1 karakter yang berbeda pada bagian kedua. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para pemain, namun semua aktor dalam film tersebut berhasil untuk mengeksekusi hal tersebut dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan terlihatnya perbedaan akting antara dua karakter dengan aktor yang sama dalam film.Â
Sepanjang bagian kedua, film direkam dari sudut pandang orang pertama, yaitu Dodit sebagai orang yang bertugas untuk mendokumentasikan proses pembuatan film pada bagian pertama. Dodit berhasil menangkap semua momen krusial dalam proses pembuatan film nya, salah satunya momen lucu ketika mengambil sampel suara macan mengaum. Di sela-sela bagian kedua juga disisipkan hasil wawancara dari semua orang yang terlibat di balik layar, meliputi sutradara, produser, aktor, dan kru dibalik layar. Pendapat mereka tentang pembuatan film pada bagian pertama cukup menarik karena setiap orang memiliki opini serta keluh kesahnya masing-masing terhadap sesama anggota kru.Â
Film ini mengandung makna yang cukup mendalam. Film ini mengingatkan kita bahwa kita sudah tidak lagi hidup di zaman dimana suara kita dibatasi. Kebebasan berpendapat sudah menjadi hak semua warga negara Indonesia. Oleh karena itu baiknya kita berani untuk berpendapat dan menyuarakan suara kita.Â
Film Aum! sukses membawa konsep mokumenter yang cukup jarang ditemui di dunia perfilman Indonesia. Penggambaran suasana pada masa orde baru menuju reformasi yang ciamik serta sinematografi yang memukau mampu memberikan pengalaman menonton yang menarik. Film ini cocok untuk ditonton oleh kalangan remaja hingga orang dewasa, terutama bagi penggemar film yang bernuansa petualangan atau film dengan konsep yang jarang ditemui. Menurut pendapat saya melihat dari sisi konsep film, alur cerita dan sinematografi, film Aum! layak untuk diberikan skor 8.5/10
DAFTAR PUSTAKA
Akurat.co, A. (2018, 11 10). Yuk, Belajar Resolusi Video dan Aspect Ratio. Akurat.co. Diakses Maret 20, 2024, dari https://www.akurat.co/infotech/1302018440/Yuk-Belajar-Resolusi-Video-dan-Aspect-Ratio
Heckman, C. (2022, 11 13). What is a Mockumentary --- Definition, Examples & History. studiobinder. Diakses Maret 21, 2024, dari https://www-studiobinder-com.translate.goog/blog/what-is-a-mockumentary-definition/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H