Disusun oleh:
Alfred
Dewasa ini, kecanggihan teknologi semakin mudah dirasakan oleh berbagai pihak. Dengan adanya teknologi, seseorang mampu untuk mencari berbagai data yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Termasuk kecanggihan dalam dunia pendidikan, teknologi dapat digunakan dan dirasakan semakin mudah bagi para pelajar melalui video daring, bisa belajar lewat apa saja seperti Zoom, Google Meet, maupun perangkat lainnya yang memudahkan baik pengajar maupun murid dalam melakukan interaksi dalam kegiatan belajar mengajar. Termasuk dalam konteks ini adalah hubungan antara dosen dan mahasiswa.
Terlebih pada kondisi pandemi Covid-19 yang membuat dosen dan mahasiswa tidak bisa berinteraksi secara langsung di kelas masing-masing, tidak menjadi halangan ketika pihak kampus membuat kebijakan belajar dari rumah, berinteraksi melalui media online, maupun mengakses materi melalui e-learning atau bentuk yang serupa. Tentu hal ini memudahkan mahasiswa dan dosen sehingga dapat melakukan apa saja dan dimana saja. Hal yang menjadi kendala adalah apakah semua orang dapat merasakan hal yang sama?
Penulis meyakini bahwa tidak semua mahasiswa dapat merasakan hal yang sama, contoh ketika mahasiswa teknik atau kedokteran melakukan praktek, tidak mungkin bisa didapatkan melalui teori saja, melainkan melalui terjun lapangan secara langsung. Selanjutnya, ketika ketersediaan kampus tidak memenuhi apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa, maka kesusahan pasti dialami dalam kegiatan belajar mengajar dimasa pandemi.
Kesulitan dialami oleh mahasiswa juga ketika materi yang disampaikan tidak dapat dipahami dengan benar karena hanya bersumber dari materi tertulis dan forum sebatas pemenuhan kewajiban dalam menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa tanpa disertai arahan dan bimbingan dari dosen itu sendiri. Dosen juga dihadapkan pada kondisi bahwa mereka harus menyiapakan bahan ajar yang baik dan dapat dipahami, baik melalui e-learning, video pembelajaran, maupun tatap muka secara daring sehingga kegiatan belajar mengajar tidak menjadi monoton dan dirasa kuliah tidak menyenangkan.
Pemerataan pendidikan bukan soal sarana dan prasarana saja, melainkan ketersediaan waktu dan pikiran kedua belah pihak dalam menyukseskan pemerataan pendidikan. Keterbatasan sarana dan prasarana dapat berupa ketidakmampuan mahasiswa dalam memiliki perangkat elektronik, penyediaan listrik, akses internet, jaringan server kampus, yang terkadang menghambat mahasiswa dalam belajar secara daring. Keterbatasan waktu dan pikiran adalah ketika mahasiswa kelas karyawan yang membagi waktunya antara pekerjaan dengan kuliah, bisa juga dari sisi dosen itu sendiri yang hanya terpaku belajar monoton d kelas, tidak membuat ide atau gagasan belajar, memanfaatkan fasilitas yang disediakan, dan sebagainya.
Hakekat Merdeka Belajar menurut penulis terdapat dalam Pasal 31 UUD 1945, dimana disebutkan dalam ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap warga negara berhak untuk kesetaraan pendidikan hingga jenjang tertinggi. Dalam hal ini pemerintah turut andil dalam pendidikan berbasis teknologi sesuai UUD 1945 Pasal 31 Ayat 5 yang mengatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pemerataan pendidikan pada perguruan juga tidak terlepas dari pendidikan yang didapatkan semasa SD, SMP, maupun SMA. Ketika membandingkan antara sekolah elit maupun biasa, terlihat jelas bahwa kualitas pengetahuan yang dimiliki jauh berbeda dan kesempatan dalam melanjutkan pendidikan tinggi semakin besar. Seperti halnya sekolah A mudah dalam mendapatkan PTN melalui jalur SNMPTN pada kampus terkenal, sedangkan sekolah B susah untuk mendapatkannya. Hal ini jelas menunjukan penyimpangan dalam rangka pemerataan pendidikan, perlu banyak pihak dalam upaya tersebut. Tentu dari segi fasilitas antara Universitas A dan Universitas B berbeda, baik dalam kualitas sumber daya manusia, jumlah publikasi penelitian, keikutsertaan mahasiswa dalam mengikuti lomba, disana jelas sekali berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang perlu dilakukan dalam mencapai pemerataan kualitas.
Pertama yang perlu ditekankan adalah fasilitas, ketika seseorang melakukan praktik ditunjang dengan alat yang memadai, maka dia dapat dengan mudah mengimplementasikan teori yang dipelajari dan memudahkan dalam pasar dunia kerja sehingga menghasilkan lulusan yang baik. Oleh karena itu, diperlukan dana yang tidak sedikit dalam menunjang kualitas pendidikan suatu instansi.
Kedua mengenai kualitas pengajar, seperti yang sudah diketahui bahwa dalam mengajar mahasiswa dalam jenjang strata 1, maka pengajar (dosen) setidaknya menamatkan pendidikan pada jenjang strata 2. Dalam mengajar mahasiswa dalam jenjang strata 2, maka pengajar (dosen) setidaknya menamatkan pendidikan pada jenjang strata 3. Dalam mengajar mahasiswa dalam jenjang strata 3, maka pengajar (dosen) setidaknya menamatkan pendidikan pada jenjang strata 3 dan bergelar profesor. Tentu untuk mendapatkan gelar tersebut tidak mudah, membutuhkan dana, waktu, dan tenaga dalam menyelesaikan tahapan tersebut. Tetapi itu saja tidak cukup, dibutuhkan keahlian khusus yang menunjang dalam pengajaran, seperti sertifikasi dibidang yang dipelajari, penguasaan teknologi, teknik berkomunikasi dengan baik, dan kemampuan Bahasa.