Sidak Anggota Dewan ke Pantai Terlarang
Pagi begitu cerah. Sekelompok anggota dewan tiba-tiba memutuskan untuk melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke sebuah desa di pinggir pantai. Mereka berangkat dengan mobil dinas mewah, lengkap dengan rombongan staf dan beberapa wartawan yang siap meliput. Tujuannya? Mengecek kondisi pantai yang konon telah dipasangi tembok besar dengan tulisan: "Selain Penghuni Hotel, Dilarang Masuk ke Pantai."
Sesampainya di lokasi, mereka pun tertegun. Tembok setinggi tiga meter itu membentang sepanjang pantai, menghalangi pemandangan indah laut biru. Di atasnya, tulisan besar-besar itu seolah menantang siapa pun yang ingin menikmati pasir putih dan ombak.
"Lho, ini bagaimana? Pantai kok dilarang untuk umum?" tanya Ketua Dewan, Pak Dibu, dengan wajah heran. Padahal, dia sendiri yang menandatangani izin pembangunan tembok itu setahun lalu.
"Ya, ini kan untuk menjaga privasi dan kenyamanan para tamu hotel," jawab Pak Kojo, anggota dewan lainnya, sambil tersenyum kecut. Dia juga ikut menyetujui proyek itu, tapi sepertinya lupa karena terlalu sibuk menghadiri acara makan-makan gratis.
Mereka pun berjalan mendekati pintu gerbang pantai, yang dijaga ketat oleh dua satpam berseragam. "Maaf, Bapak-Bapak. Hanya penghuni hotel yang boleh masuk," kata satpam itu dengan sopan.
"Kami ini anggota dewan! Kami yang mengizinkan ini semua!"Â protes Pak Dibu, mencoba meyakinkan satpam.
"Tapi, Bapak bukan penghuni hotel, kan?" tanya satpam itu lagi, polos.
Rombongan dewan pun terdiam. Mereka saling pandang, seolah baru tersadar betapa ironisnya situasi ini. Mereka yang memberikan izin, sekarang justru dilarang masuk ke tempat yang mereka setujui.
Akhirnya, setelah berdebat cukup lama, seorang staf hotel muncul dan mengizinkan mereka masuk. "Maaf, Bapak-Bapak. Kami tidak tahu kalau ini rombongan dewan. Silakan masuk," kata staf itu dengan senyum manis.
Begitu masuk, mereka disuguhi pemandangan pantai yang indah. Pasir putih, ombak yang berdesir, dan kursi-kursi pantai yang nyaman. Tapi, suasana itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari ke arah mereka sambil berteriak, "Pak, ini pantai umum, kok dilarang-larang sih? Kata Mama, ini hak semua orang!"
Pak Dibu dan kawan-kawan hanya bisa tersenyum kecut. Mereka tahu jawabannya, tapi tak ada yang berani menjawab. Akhirnya, mereka memutuskan untuk duduk di kursi pantai, menikmati kelapa muda yang disediakan hotel, sambil berpura-pura tidak mendengar protes warga yang berkumpul di balik tembok.
Sebelum pulang, Pak Dibu berpidato singkat, "Kami akan menindaklanjuti keluhan ini. Pantai adalah milik rakyat, dan kami akan memastikan hak-hak rakyat terpenuhi."
Tapi, begitu mobil dinas mereka menghilang di kejauhan, warga hanya bisa menggelengkan kepala. Mereka tahu, ini hanya sandiwara belaka. Besok, tembok itu akan tetap berdiri, dan pantai indah itu tetap terlarang bagi mereka.
Dan begitulah, sidak itu berakhir dengan tawa pahit warga dan kepura-puraan anggota dewan yang seolah peduli, padahal mereka sendiri yang membuat masalah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI