Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

[hororsenja]: Pantai Karang Merah

30 Januari 2025   17:29 Diperbarui: 30 Januari 2025   17:29 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Pantai Karang Merah

Angin malam di Pantai Selatan tak pernah bertiup biasa. Ia menyapu pasir seakan membawa suara-suara parau yang tak berasal dari dunia ini. Tengah malam, ketika ombak mulai membisikkan mantra kematian, lorong waktu terkuak. Di sana, di antara kabut asin, tujuh bayangan remaja bergerak lambat, tubuh mereka basah, mata kosong, dan leher bergaris hitam seperti tercekik air laut yang tak pernah memaafkan.

Mereka datang pada 17 Agustus, tepat pukul 03.33 dini hari. Rombongan itu -Sangke, Aldi, Bima, dan Bragim- menganggap legenda Pantai Karang Merah sebagai dongeng pengantar tidur. "Katanya siapa ke sini pas hari kemerdekaan bakal mati? Cuma mitos nelayan katrok!" ejek Aldi sambil menyalakan api unggun. Bir dan rokok mereka tebar sembarangan, asapnya bercampur bau anyir yang tiba-tiba muncul dari balik karang.

Tapi Sangke, si paling pemberani, merasa ada yang salah. Udara panas tiba-tiba berubah menusuk tulang. Ombak yang tenang jadi menggeram, seakan marah karena api unggun menyala terlalu dekat dengan garis air. "Kita pulang saja," bisiknya. Tapi Bima menertawakannya. "Laut cuma air dan garam, Ke. Nggak bisa apa-apa."

Sekonyong-konyong, api unggun padam. Bukan karena angin, tapi seperti ditelan kegelapan. Bragim menjerit ketika jari-jari dingin menyentuh kakinya. Bukan jari manusia, itu lembab, berselaput, dan berbau busuk. Aldi menyorotkan senter ke arah karang.

Mereka membeku.

Di balik batu karang terjal, ada celah sempit yang sebelumnya tak terlihat. Dari dalamnya, terdengar suara mendesah berirama: "Kembalikan... kembalikan..." Sementara di pasir, jejak kaki basah mengarah ke celah itu; jejak yang jumlahnya terlalu banyak untuk sekelompok manusia.

Bima nekat masuk. "Ini pasti rumah hantu buatan warga! Ayo, kita live TikTok!" Tawa mereka pecah, tapi hanya sebentar. Begapa melangkah ke dalam, pintu karang itu menutup sendiri. Udara berubah pengap, berbau amis darah. Senter mereka mati.

Di kegelapan, Bragim terisak. "Ada yang megang bahuku..."

Lalu lampu menyala tiba-tiba.

Mereka tak lagi di gua. Ini ruangan kayu tua, dindingnya dipenuhi jaring laba-laba dan foto hitam-putih bergambar remaja-remaja dari era 70-an. Semua mata di foto itu mengikuti gerakan mereka. Di sudut, ada meja persembahan dengan tujuh mangkuk tanah liat; isinya air laut dan rambut manusia.

"Kalian pikir kami hanya dongeng? Lalu memagari kami dengan ejekan katrok" suara parau menggema.

Sosok tinggi kurus muncul dari bayangan. Kulitnya pucat kebiruan, mata tanpa pupil. Ia mengenakan jas nelayan compang-camping yang menetes air asin. "Pantai ini bukan milik kalian," desisnya.

Sangke mencoba lari, tapi setiap kali mendekati celah keluar, karang-karang bergerak menyumbat jalan. Ombak mulai masuk ke dalam ruangan, naik cepat. Airnya hitam dan penuh dengan ubur-ubur transparan berbentuk tangan kecil.

"Kami minta maaf!" teriak Aldi.

"Satu-satunya maaf yang alam terima," kata sosok itu sambil tersenyum getir, "adalah kematian kalian."

Air telah mencapai dada. Ubur-ubur tangan merayap ke wajah mereka, menyumbat mulut dan hidung. Jeritan terakhir mereka tenggelam dalam deru ombak yang tiba-tiba ganas.

Keesokan pagi, warga menemukan empat mayat terdampar di karang. Tubuh mereka membiru, mulut penuh pasir, dan di leher masing-masing ada bekas cekikan tali tambang yang sudah lapuk.

Sejak itu, setiap 17 Agustus, pengunjung nakal yang nekat datang ke Pantai Karang Merah akan melihat tujuh remaja berjalan ke air: tubuh transparan, mata hampa, mengajak siapa saja untuk "bermain" di ruang sempit yang tak pernah membebaskan jiwa.

Alam tak butuh permisi. Ia hanya perlu pembuktian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun