Mereka tak lagi di gua. Ini ruangan kayu tua, dindingnya dipenuhi jaring laba-laba dan foto hitam-putih bergambar remaja-remaja dari era 70-an. Semua mata di foto itu mengikuti gerakan mereka. Di sudut, ada meja persembahan dengan tujuh mangkuk tanah liat; isinya air laut dan rambut manusia.
"Kalian pikir kami hanya dongeng? Lalu memagari kami dengan ejekan katrok"Â suara parau menggema.
Sosok tinggi kurus muncul dari bayangan. Kulitnya pucat kebiruan, mata tanpa pupil. Ia mengenakan jas nelayan compang-camping yang menetes air asin. "Pantai ini bukan milik kalian," desisnya.
Sangke mencoba lari, tapi setiap kali mendekati celah keluar, karang-karang bergerak menyumbat jalan. Ombak mulai masuk ke dalam ruangan, naik cepat. Airnya hitam dan penuh dengan ubur-ubur transparan berbentuk tangan kecil.
"Kami minta maaf!" teriak Aldi.
"Satu-satunya maaf yang alam terima,"Â kata sosok itu sambil tersenyum getir, "adalah kematian kalian."
Air telah mencapai dada. Ubur-ubur tangan merayap ke wajah mereka, menyumbat mulut dan hidung. Jeritan terakhir mereka tenggelam dalam deru ombak yang tiba-tiba ganas.
Keesokan pagi, warga menemukan empat mayat terdampar di karang. Tubuh mereka membiru, mulut penuh pasir, dan di leher masing-masing ada bekas cekikan tali tambang yang sudah lapuk.
Sejak itu, setiap 17 Agustus, pengunjung nakal yang nekat datang ke Pantai Karang Merah akan melihat tujuh remaja berjalan ke air: tubuh transparan, mata hampa, mengajak siapa saja untuk "bermain" di ruang sempit yang tak pernah membebaskan jiwa.
Alam tak butuh permisi. Ia hanya perlu pembuktian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI