Pantai Karang Merah
Angin malam di Pantai Selatan tak pernah bertiup biasa. Ia menyapu pasir seakan membawa suara-suara parau yang tak berasal dari dunia ini. Tengah malam, ketika ombak mulai membisikkan mantra kematian, lorong waktu terkuak. Di sana, di antara kabut asin, tujuh bayangan remaja bergerak lambat, tubuh mereka basah, mata kosong, dan leher bergaris hitam seperti tercekik air laut yang tak pernah memaafkan.
Mereka datang pada 17 Agustus, tepat pukul 03.33 dini hari. Rombongan itu -Sangke, Aldi, Bima, dan Bragim- menganggap legenda Pantai Karang Merah sebagai dongeng pengantar tidur. "Katanya siapa ke sini pas hari kemerdekaan bakal mati? Cuma mitos nelayan katrok!" ejek Aldi sambil menyalakan api unggun. Bir dan rokok mereka tebar sembarangan, asapnya bercampur bau anyir yang tiba-tiba muncul dari balik karang.
Tapi Sangke, si paling pemberani, merasa ada yang salah. Udara panas tiba-tiba berubah menusuk tulang. Ombak yang tenang jadi menggeram, seakan marah karena api unggun menyala terlalu dekat dengan garis air. "Kita pulang saja,"Â bisiknya. Tapi Bima menertawakannya. "Laut cuma air dan garam, Ke. Nggak bisa apa-apa."
Sekonyong-konyong, api unggun padam. Bukan karena angin, tapi seperti ditelan kegelapan. Bragim menjerit ketika jari-jari dingin menyentuh kakinya. Bukan jari manusia, itu lembab, berselaput, dan berbau busuk. Aldi menyorotkan senter ke arah karang.
Mereka membeku.
Di balik batu karang terjal, ada celah sempit yang sebelumnya tak terlihat. Dari dalamnya, terdengar suara mendesah berirama: "Kembalikan... kembalikan..." Sementara di pasir, jejak kaki basah mengarah ke celah itu; jejak yang jumlahnya terlalu banyak untuk sekelompok manusia.
Bima nekat masuk. "Ini pasti rumah hantu buatan warga! Ayo, kita live TikTok!" Tawa mereka pecah, tapi hanya sebentar. Begapa melangkah ke dalam, pintu karang itu menutup sendiri. Udara berubah pengap, berbau amis darah. Senter mereka mati.
Di kegelapan, Bragim terisak. "Ada yang megang bahuku..."
Lalu lampu menyala tiba-tiba.