Bab-Bab yang Tak Tahu Diri
Penulis itu kewawalan! Terjadi keributan yang tak biasa dari buku yang sedang dia tulis. Bab-bab dalam draft tulisannya hidup dan saling berseteru memperebutkan posisi bab pertama.
"Aku harus jadi bab pertama!" teriak Bab 3, yang merasa dirinya penuh aksi dan dramatis. "Pembaca butuh ketegangan sejak awal, bukan basa-basi seperti Bab Pendahuluan!"
Bab Pendahuluan membalas dengan nada serius, "Tanpa aku, pembaca bahkan tak tahu apa tujuan buku ini. Aku adalah fondasi yang tak tergantikan!"
Bab 2, yang diam-diam menguping, menyelutuk, "Oh, ayolah, kalian berdua. Aku punya statistik dan fakta yang membuat pembaca terpikat. Aku jelas lebih layak berada di depan!"
Di sudut lain, Bab Penutup atau Epilog hanya menggeleng-gelengkan halaman. "Aku tidak mau ikut-ikutan. Tugasku cuma merangkum dan memberikan kesan terakhir. Tapi, kalian semua lupa: aku selalu ada di posisi terakhir, dan aku tidak pernah iri."
Namun, alih-alih menenangkan suasana, pernyataan Bab Penutup malah membuat Bab Pendahuluan naik pitam. "Sok bijak sekali kamu, ya! Lihat saja nanti, kalau buku ini selesai, aku yang akan menjadi bintang!"
Situasi semakin kacau ketika penulis mencoba menenangkan keributan itu dengan mencetak bab-bab tersebut. Tapi, printer malah mengeluarkan hasil yang salah: Bab 4 di posisi awal, Bab Penutup di tengah, dan Bab 1 entah di mana!
"Ini semua gara-gara kalian!"Â teriak Bab Pendahuluan. "Kalian bahkan mengacaukan printer!"
Bab-bab itu akhirnya sepakat untuk berunding. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, mereka malah menunjuk Bab Lampiran sebagai pemimpin sidang. Bab Lampiran, yang penuh tabel dan grafik, hanya berkata, "Aku tidak peduli, selama aku tetap jadi tambahan di akhir."