Di atas rel yang berdesir kisah,
Kereta meliuk lincah menyapa malam,
Penumpang sibuk dalam dunia masing-masing,
Terselubung hening, terbungkus lamunan.
Ponsel berkilau menari di genggaman,
Tatapan tenggelam ke layar sunyi,
Cerita bisu terpahat di wajah-wajah asing,
Tak saling sapa, tak saling tahu arti.
Namun sesekali ada senyum melintas,
Membelah sekat yang berlapis kaca,
Mengingatkan bahwa perjalanan ini
Adalah persimpangan jiwa-jiwa sementara.
Perjalanan dengan kereta api sering menjadi gambaran miniatur kehidupan masyarakat modern yang sibuk dengan dunianya sendiri. Di dalam gerbong yang sempit, orang-orang berbagi ruang fisik namun sering terpisah secara emosional. Mereka tenggelam dalam perangkat elektronik, buku, atau sekadar lamunan, menciptakan batas-batas tak kasatmata antara satu individu dan individu lainnya.Â
Fenomena ini menunjukkan semakin berkembangnya budaya individualisme di tengah masyarakat yang serba terhubung secara digital.
Secara sosial, interaksi antarmanusia dalam ruang publik seperti kereta mengalami perubahan besar.Â
Dahulu, perjalanan kereta menjadi ruang untuk berbagi cerita atau sekadar menyapa sesama penumpang. Kini, dengan hadirnya teknologi, komunikasi tatap muka semakin tergantikan oleh koneksi virtual.Â
Hal ini mencerminkan bagaimana hubungan sosial tradisional bergeser menjadi hubungan digital yang lebih personal dan individual.
Dari sisi psikologis, sikap penumpang yang sibuk dengan dunianya sendiri bisa jadi merupakan bentuk mekanisme pertahanan.Â
Kereta sering kali menjadi tempat bagi orang untuk menyendiri di tengah keramaian, menikmati momen introspeksi atau sekadar mencari kedamaian.Â
Mereka merasa lebih nyaman berlindung di balik layar ponsel atau mendengarkan musik dibanding harus berinteraksi dengan orang asing.
Namun, isolasi sosial dalam ruang publik ini bisa berdampak pada kesehatan mental jangka panjang. Kurangnya interaksi langsung dapat memperlemah keterampilan komunikasi dan menambah perasaan kesepian, meski paradoksnya mereka terus terhubung secara virtual.Â
Kereta yang melaju cepat sering kali menjadi simbol perjalanan hidup manusia modern yang penuh keterbatasan waktu untuk saling berhubungan secara nyata.
Di sisi lain, tetap ada penumpang yang memilih menjalin kontak sosial meski hanya dengan senyuman atau sapaan ringan. Hal ini menunjukkan bahwa di tengah individualisme yang semakin kuat, masih ada harapan akan keterhubungan sosial yang lebih hangat dan humanis.Â
Perjalanan kereta tidak hanya menjadi alat transportasi, tetapi juga cerminan kondisi sosial dan psikologis masyarakat saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H