Tanpa Presidential Threshold: Demokrasi atau Demokrasi ala Circus?
Bayangkan ini: pesta demokrasi terbesar di negeri ini berubah menjadi festival dengan 30 panggung, masing-masing memamerkan calon presiden yang siap "menghibur" penonton. Dari artis, selebgram, pengusaha, hingga mantan gamer profesional, semua wajah menghiasi kertas suara yang panjangnya mungkin perlu digulung seperti naskah film. Apakah ini benar-benar demokrasi? Atau sekadar sirkus yang dibungkus dalam jargon kebebasan politik?
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Presidential Threshold membuka peluang bagi lebih banyak kandidat untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Dari satu sisi, ini terlihat seperti langkah maju dalam menjamin hak asasi masyarakat untuk memilih dan dipilih. Namun, seperti kata pepatah, "Jalan menuju neraka sering kali dilapisi niat baik." Tanpa Presidential Threshold, kita menghadapi beberapa potensi masalah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Keramaian yang Berujung Kekacauan?
Dalam sistem demokrasi yang ideal, keanekaragaman calon seharusnya menjadi kekuatan yang memperkaya pilihan pemilih. Namun, ketika jumlah calon yang bertanding mencapai tingkat yang mencolok, risiko terjadinya kekacauan dalam proses pemilihan semakin tinggi. Tantangan ini tidak hanya berdampak pada kualitas pemilihan, tetapi juga bisa menggerus kepercayaan publik terhadap sistem politik yang ada. Mari kita telusuri lebih dalam tiga isu penting yang dapat muncul akibat keramaian calon dalam pemilu.
Pertama, keterbatasan waktu dan infrastruktur menjadi tantangan nyata. Dengan jumlah calon yang begitu banyak, proses pemungutan suara bisa berubah menjadi tugas berat bagi pemilih. Jangan lupa, ruang pencoblosan bukanlah bioskop dengan sistem reservasi tempat duduk.
Kedua, tanpa filter awal, kemungkinan besar kita akan melihat calon-calon yang lebih mementingkan popularitas daripada kompetensi. Fenomena ini bisa menciptakan ruang bagi figur publik yang tidak memiliki latar belakang politik untuk mendominasi, hanya karena mereka lebih dikenal oleh masyarakat.
Ketiga, fragmentasi politik dapat menjadi ancaman serius bagi stabilitas pemerintahan. Tanpa koalisi partai yang kuat, presiden terpilih kemungkinan besar akan menghadapi tantangan berat dalam menjalankan roda pemerintahan.
Belajar dari Opera dan Circus Negara Lain
Sejenak kita bercermin pada pengalaman negara lain. Italia, dengan politiknya yang seperti opera, sering kali harus menghadapi pemerintahan yang berumur pendek. Ketidakstabilan ini sering kali disebabkan oleh koalisi politik yang rapuh dan perselisihan antara partai-partai yang berkuasa. Di sisi lain, fenomena ini juga menciptakan dinamika politik yang unik, di mana perubahan cepat dalam kepemimpinan menjadi hal yang biasa, dan masyarakat belajar untuk beradaptasi dengan realitas ini.
Filipina memberikan pelajaran bahwa pemimpin populer tidak selalu memiliki kapasitas memadai. Contoh paling jelas terlihat dalam beberapa pemilihan, di mana popularitas seseorang di media sosial dapat mengalahkan penilaian objektif terhadap pengalaman dan kemampuan kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi politik di kalangan pemilih agar mereka dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dan berdasarkan informasi yang tepat.