KEADILAN YANG TERSEDUH DI CANGKIR KOPIÂ
Di bawah rintik hujan yang tak henti-hentinya mengguyur, secangkir kopi pahit menjadi saksi bisu keresahan seorang insan terhadap wajah hukum yang kian samar. Di malam-malam Desember yang dingin, refleksi tentang ketimpangan dan ironi kehidupan menyeruak, menuntun kita untuk merenungi: apakah keadilan masih punya tempat di negeri yang penuh asa ini? Mari hirup aroma kopi yang getir, namun jangan biarkan semangat melawan ketidakadilan ikut terbenam.
***
Saat hendak berangkat misa malam Natal pada hari Selasa 24 Desember 2024 hujan deras sekali mengguyur Yogyakarta dan sekitarnya. Kami yang akan berangkat misa di Gereja Santo Yusup Pekerja Condongcatur harus dengan sabar menunggu Gocar (setelah pesanan keenam baru dapat mobil). Berangkat dalam keadaan hujan deras sehingga saat di mobil harus melepas sepatu. Saat turun banjir melintas di jalan di depan gereja, sehingga putra kedua yang tidak mau melepas sepatunya harus digendong oleh kakaknya dan melompati air.
Hal yang sama terjadi lagi kemarin Sabtu 28 Desember sore. Putra nomot dua bertugas sebagai pelayan altar maka harus berangkat lebih awal, namun tiba-tiba hujan deras (meski tidak sederas tanggal 24 Desember). Kali ini meski berangkat pakai motor, tidak sampai membasahi celana dan sepatu.
Pagi ini, hujan lagi. Lalu sambil memperhatikan hujan yang bertubi-tubi menikam bumi, saya terinspirasi membuat puisi berikut. Karena kebetulan sambil minum secangkir kopi pahit.
***
KOPI KE-29 DI BULAN DESEMBER
Hujan menyiram malam sejak lonceng Natal berdentang,
Dingin menyeruak, tak memadamkan semangatku menghirup kopi di teras.
Asap rokok melayang, menemani pikiran yang merayap jauh,
Menyoroti hukum yang terjerat, awut-awutan tanpa arah.
Tiga ratus triliun dirampas, hukuman sekadar mainan angka,
Enam setengah tahun terasa lelucon di panggung keadilan.
Pariyem, perempuan desa dengan tangan penuh luka,
Mengambil kayu bakar, lalu dihukum seolah ia durjana.
Hukum dan politik berselingkuh tanpa malu di depan kita,
Lawan dibungkam, kawan dibiarkan berpesta pora.
Kopi ke-29, pahit di ujung lidah, getir di hati,
Aku bertanya: adakah keadilan akan lahir kembali?