Runtuhnya Peradilan di Amplop Coklat
Di balik megahnya gedung pengadilan, tersimpan rahasia busuk yang lama mengendap. Hakim-hakim berseragam toga hitam tak lagi berbicara atas nama keadilan, melainkan atas nama kekuasaan dan uang. Di ruang sidang, kebenaran bukan lagi barang yang dicari, melainkan komoditas yang dipertaruhkan.
Dinginnya ruangan sidang itu terasa menusuk. Bukan karena AC yang terlalu kuat, tetapi karena pandangan-pandangan kosong dari hakim dan jaksa yang duduk di atas panggung kekuasaan. Di sudut meja hakim, secarik amplop cokelat terlihat mengintip dari balik dokumen-dokumen tebal.
"Saudara terdakwa, apa yang ingin Anda sampaikan sebelum majelis hakim menjatuhkan vonis?" suara hakim ketua memecah sunyi, namun lebih terdengar seperti formalitas yang diulang ratusan kali.
Lakoloka, seorang pria paruh baya dengan wajah lelah, berdiri gemetar di tengah ruang sidang. Ia adalah seorang petani kecil yang dituduh mencuri beberapa karung beras dari gudang milik salah satu pengusaha besar di kota itu. Dengan mata basah, ia berkata, "Saya hanya ingin anak-anak saya makan, Yang Mulia. Beras itu sudah membusuk di gudang. Saya... saya hanya mengambil sedikit agar keluarga saya tidak kelaparan."
Namun, sebelum Lakoloka selesai bicara, hakim mengangkat tangannya, seolah-olah kata-kata pria malang itu tidak berarti apa-apa.
"Majelis sudah cukup mendengar," katanya dingin. "Kami akan bermusyawarah untuk memutuskan vonis."
Di balik pintu ruang deliberasi, hakim ketua meletakkan palu sidangnya di atas meja. Jaksa menyalakan rokok, asapnya berputar di udara seperti pengingat betapa bobroknya sistem yang mereka jalankan.
"Berapa yang diberikan Pak Nganamosa untuk kasus ini?" tanya hakim ketua tanpa basa-basi, mengacu pada pengusaha besar yang menjadi pelapor.
"Lima puluh juta," jawab jaksa dengan senyum kecil. "Tapi dia minta hukuman berat. Katanya, biar jadi pelajaran untuk orang-orang kecil yang berani melawan."