Nafas yang Dipajaki
Â
Rakyat yang seharusnya bernafas lega, kini terpaksa menarik dan menghembuskan nafas dengan rasa tercekik oleh pajak yang tiada henti membebani hidup mereka.
Gedung megah berlantai 13 di negeri dongeng, sepuluh orang di balik meja mahoni sedang menyusun strategi. Mereka adalah para perampok berdasi, menggunakan gelar 'pemerintah' sebagai jubah pelindung. Rencananya, mereka tak hanya ingin menguras kekayaan negara, tetapi juga menghisap potensi rakyat melalui pajak yang konyol: Pajak Pernafasan.
"Jika kita tidak memajaki nafas, rakyat akan semakin boros,"Â ujar Menteri Keuangan dengan suara serak, penuh percaya diri. Semua kepala mengangguk, terbuai dengan imaji menerima aliran uang tak terhingga.
Di luar gedung, kehidupan rakyat pun terpaku. Keluarga Basuki, misalnya, baru saja duduk untuk menikmati makan siang. Wajah mereka muram, raut kelaparan terukir di dahi. Setiap kali putri kecil mereka, Tasha, menarik nafas dalam-dalam, suara isak yang tertekan mengikuti. "Ibu, kenapa kami harus membayar untuk bernafas?" tanyanya polos.
Ibu Basuki tersentak. "Anakku, kita hidup di negara yang pajaknya membuat kita tertekan. Mereka yang di atas sana tak tahu bagaimana rasanya berjuang."
Pajak pernafasan ditetapkan sebesar 10 rupiah per jam. Dengan 24 jam dalam sehari, warga di kota itu dipaksa merogoh kocek 240 rupiah setiap harinya. Seseorang dapat bernafas ribuan kali dalam setahun, hingga total sebesar 93.333 rupiah. Keluarga Basuki harus membayar beban tambahan berupa pajak sampah, buang air kecil, dan buang air besar. Otot leher mereka terasa berat, seakan tercekik oleh bilangan yang penuh penderitaan.
Satu hari, ketika suara protes mulai menggema di jalanan kota, dua kubu mulai terbentuk: mereka yang pro pajak di satu sisi, dan mereka yang kontra di sisi lain. Di jalan, para pendukung pajak berorasi, menganggap pengenalan pajak ini adalah tindakan heroik dari pemerintah. Namun, suara yang menolak semakin menguat. "Kami tidak terima! Kami tidak ingin nafas kami dibayar!" teriak salah satu demonstran.
Suasana semakin memanas dengan bentrokan antara dua kelompok itu. Rakyat terbelah, saling mencemooh dan mengusir satu sama lain. Ketika semua tampak tidak berujung, Tasha, putri kecil Basuki, mendekati pengunjuk rasa dan bertanya, "Kenapa kami harus membayar untuk nafas kami?"Â Perkataan tersebut membuat kerumunan terdiam sejenak.
Namun, dari arah lain, tamu tak diundang muncul: sekelompok aparat keamanan yang mengawasi. Suasana tiba-tiba berubah. Dengan membawa mercon, mereka mulai melontarkan suara keras, mengancam mereka yang memilih untuk menolak pajak. Tasha, yang masih berdiri di tengah kerumunan, terjatuh saat salah satu mercon itu mengarah padanya. Kejadian itu memicu kepanikan. Rakyat berlari ketakutan, sementara Ibu Basuki ngebut berlari ke arah putrinya yang tergeletak.
Ketika Ibu Basuki berhasil mendekati Tasha, dia mendapati putrinya memeluk dadanya dengan keras, air mata mengalir di pipinya. "Ibu, apa kita akan terus bernafas?" Tasha berkata dengan suara parau. Dengan penuh haru, Ibu Basuki merengkuh putrinya, "Anakku, kita akan berjuang untuk nafas kita."
Sejak hari itu, protes semakin masif. Pajak yang dirasakan terlalu berat membuka jalan bagi pemikiran revolusioner: rakyat akan mengambil kembali nafas mereka. Dari balik gedung megah itu, para perampok berdasi mulai merasakan resah. Karena, tidak ada yang lebih berharga daripada nafas.
Inilah pertempuran baru, bukan hanya untuk melawan pajak, tetapi untuk kebebasan bernafas. Rakyat, dengan tekad tak tergoyahkan, bersatu menghadapi ancaman yang akan menghancurkan mereka. Pajak pernafasan itu akan menjadi sejarah kelam yang tak akan pernah terulang lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H