Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayangan Dalam Pikiran

23 Desember 2024   15:25 Diperbarui: 23 Desember 2024   15:25 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Bayangan Dalam Pikiran

Di sudut gelap pikiran, harapan layu,
Kegelapan menyelimuti, tiada jalan maju.
Hantu ketakutan, berbisik lembut,
Ketidakpastian menari, jiwaku terjerut.

Dalam cermin aku lihat, wajah penuh duka,
Kekecewaan dan rasa hampa, selamanya takkan sirna.
Gelombang negatif menyapu, tak ada cahaya,
Dalam penjara pikiranku, jiwa terkurung selamanya.

Lina, hidup seorang diri di sebuah rumah tua di ujung kota. Ia selalu dipenuhi pemikiran negatif, memandang dunia dengan pesimisme melankolis.

Setiap malam, ia memandangi langit yang gelap dari jendela kamarnya, membayangkan wajah-wajah menakutkan yang muncul dari bayangan.

Malam itu, angin berbisik lembut di telinganya, menambah rasa cemas yang telah menjadi bagian dari hidupnya.

Puisi yang ditulisnya malam itu adalah wujud dari ketakutannya, mencerminkan sebuah dunia yang kelam. Tepat setelah menyelesaikan puisinya, sebuah suara lembut memanggil namanya.

"Lina..." Suara tidak bersumber, tetapi begitu dekat, meresap ke dalam hatinya. Dengan jantung berdegup kencang, Lina belajar untuk menegakkan keberanian, meski rasa takut merayap di antara tulang-tulangnya.

Keberanian itu tak bertahan lama, saat lampu di ruangan itu mulai berkedip. Lina menarik napas dalam-dalam, mencoba meyakinkan diri bahwa tidak ada yang terjadi. Namun, suara itu kembali, lebih mendesak, lebih mendalam. "Lina... bantu aku!"

Dengan tangan bergetar, Lina mendekati cermin di kamarnya, tempat di mana ia sering melihat bayangan dirinya yang tak berdaya. Kali ini, cermin itu tampak berbeda; ada kilatan cahaya yang cepat, membelah kegelapan.

Ia melihat sosok seorang wanita dengan mata kosong, memohon, menatapnya seolah meminta bantuan. "Aku terjebak, Lina! Pikiranku menghantuiku!"

Ketakutan melanda Lina. "Siapa kamu?" Ia berteriak, suaranya bergaung dalam keheningan malam. Wanita itu merendahkan diri, dan meski tak mungkin menyentuhnya, Lina merasakan ketegangan yang luar biasa antara mereka.

"Aku adalah bayangan dari semua pikiran negatif yang kau biarkan menguasai hidupmu. Kau menariku, dan kini aku bebas."

Lina teringat akan setiap keluhan, setiap rasa percaya diri yang hilang. Ia menyadari, setiap pikiran buruknya telah melahirkan sesuatu yang lebih gelap.

Tangan dingin itu perlahan menjulur keluar dari cermin, mencoba menarik Lina ke dalam bayangannya sendiri. "Kau milikku, Lina! Kau yang mengundangku!"

Dalam sekejap, Lina seolah terhisap dalam badai pikiran, kembali terperangkap dalam kegelapan yang selama ini menganggapnya sebagai bagian dari dirinya. Ia berusaha berjuang, tetapi bayang-bayangnya semakin mendekat, merengkuh jiwa dan pikirannya.

Dengan setiap teriakan dalam pikiran, kegelapan semakin menguasai. Dalam perang batin melawan bayangannya sendiri, Lina berusaha berlari, tapi tak ada tempat untuk bersembunyi. Sosok itu semakin jelas: wajahnya adalah gambaran dari semua ketidakpuasan dan rasa sakit yang pernah disimpannya.

"Lina, terima saja, bahwa kau takkan pernah bisa bebas dari dirimu sendiri!" suaranya menggema, menambah rasa putus asa. Lina merasakannya, momen menakutkan di mana harapan semakin memudar.

Dengan setetes harapan terakhir, ia berteriak, "Cukup! Aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan aku!"

Dan seperti sihir, bayangannya terhenti. Dalam ketegangan sesaat, Lina menemukan kekuatan untuk bangkit, menghadapi semua ketakutan yang selama ini ia ciptakan. Dengan semangat baru, ia berkata, "Aku adalah pencipta hidupku sendiri!"

Lina menutup matanya, mengalirkan cahaya positif ke dalam pikirannya, menyalakan lampu dalam kegelapan. Saat ia merasa terbangun, suara itu sirna, menyisakan kedamaian yang sempat hilang.

Dengan setiap napas, ia berjanji untuk tidak membiarkan pikiran negatif menjauhkan dirinya dari kebahagiaan.

Tetapi saat ia kembali lagi ke cermin di malam berikutnya, bayangan itu kembali memanggil. Kali ini, Lina tersenyum, mengingatkan dirinya bahwa kegelapan tidak akan abadi: selama seberkas cahaya tetap ada di dalam hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun