Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ibu Yang Terluka

22 Desember 2024   18:07 Diperbarui: 22 Desember 2024   18:07 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Seorang Ibu dan juga Ibu Bumi yang terluka, olahan GemAIBot, dokpri)

Ibu Yang Terluka

#SelamatHariIbu

Di tengah keramaian kota yang tak pernah tidur, ada seorang wanita tua bernama Ineebu. Setiap pagi, Ineebu duduk di bangku kayu di depan rumahnya yang sederhana, menunggu kehadiran anak-anaknya.

Hari Ibu tiba, dan harapan Ineebu kembali menyala. Mungkin tahun ini, mereka akan ingat betapa besar pengorbanan yang ia lakukan untuk mereka. Ya, Ineebu adalah sosok ibu yang telah mempertaruhkan segalanya.

Dia rela berkorban demi kebahagiaan anak-anaknya, sementara mereka kini terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.

Dahlia, anak perempuan tertuanya yang kini bekerja sebagai manajer di perusahaan multinasional, selalu terlena oleh kesibukan. Dia tidak sempat menghadiri ulang tahun ibunya beberapa bulan yang lalu, apalagi hari Ibu.

Begitu pula dengan Rudi, anak bungsunya yang baru lulus kuliah. Dia lebih tertarik dengan pesta-pesta dan teman-temannya daripada keluarganya sendiri. Meski selalu ada pesan singkat setiap tahun, Ineebu merasa kehilangan kehangatan yang selalu ada di rumah ketika anak-anaknya masih kecil.

Pagi itu, dengan harapan yang semakin pudar, Ineebu menyiapkan sarapan di dapur. Aroma masakan mereka yang lezat menggoda ingatan akan saat-saat indah ketika mereka semua berkumpul di meja makanan.

Namun, seiring waktu, Ineebu merasakan kesepian yang semakin dalam. Hari-hari berlalu dengan sunyi, seolah hidupnya hanya berputar di sekitar dinding rumah yang kini terasa seperti penjara.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Saat Ineebu menyantap sarapannya, sebuah berita di televisi menarik perhatiannya: "Ibu Bumi Kita Sedang Terluka." Frasa itu menggugah kesadaran Ineebu akan dunia di luar dinding rumahnya.

Ibu Bumi, seperti dirinya, terus menerus memberikan tanpa henti, tetapi diperlakukan dengan semena-mena. Pertambangan yang merusak, hutan yang dibabat, dan sungai yang tercemar: semua itu adalah luka-luka yang menganga di hati Ibu Bumi.

Ineebu teringat akan ajaran Laudato Si yang pernah dibaca di koran bahkan saat pendalaman di lingkungan. Dalam tulisan itu, Paus Fransiskus mengingatkan umat manusia tentang tanggung jawab mereka dalam merawat Bumi. "Ibu Bumi memberikan segalanya untuk kita, dan kini adalah saatnya kita memperhatikannya, bukan hanya untuk kepentingan kita, tetapi juga untuk generasi mendatang."

Seolah terinspirasi, Ineebu bangkit dari kursinya dan melangkah keluar rumah. Dengan hati-hati, dia berjalan menyusuri jalan kecil yang mengarah ke taman. Taman itu dulunya adalah tempat anak-anaknya bermain, tetapi kini hanya dipenuhi rumput liar.

Saat menatap langit yang mulai menggelap, terlintas dalam pikiran Ineebu: "Apakah aku menjadi seperti Ibu Bumi? Apakah aku telah terlupakan oleh anak-anakku sendiri?"

Di taman itu, Ineebu melihat sekelompok anak-anak kecil bermain, tertawa, dan berharap. Tanpa berpikir panjang, dia bergabung dengan mereka, menyapa mereka dengan senyum. "Hey, anak-anak! Mau bikin ketrampilan dari daun-daun ini?!"

Mereka semua langsung kecewa. Namun Ineebu tidak mundur. Dia mengajarkan mereka cara membuat mainan dari barang bekas dan daun-daun kering. Dalam sekejap, sorak-sorai keceriaan menggantikan kesunyian taman.

Hari Ibu semestinya diisi dengan kenangan indah, bukan hanya oleh seorang ibu, tetapi juga oleh anak-anak yang dilahirkan dari cinta tersebut. Sepanjang waktu Ineebu bersama anak-anak itu, dia merasakan kembali kasih sayang yang selama ini hilang. Mereka menggambar bunga-bunga dan membuat untaian dari dedaunan, seolah merayakan cinta kepada Ibu Bumi dan ibunya sendiri.

Di tengah permainan itu, Rudi dan Dahlia melintas. Mereka terkejut melihat ibu mereka bergembira, bergaul dengan anak-anak lainnya. Melihat kebahagiaan di wajah Ineebu, hati mereka tergerak.

(ibu pertiwi yang kian renta dan terluka oleh ulah manusia, olahan GemAIBot, dokpri)
(ibu pertiwi yang kian renta dan terluka oleh ulah manusia, olahan GemAIBot, dokpri)

Dalam beberapa langkah kemudian, keduanya menghampiri Ineebu. "Bu, maafkan kami. Kami terlalu sibuk dengan hidup kami masing-masing," kata Dahlia menyesal. Rudi mengangguk setuju. "Kami seharusnya lebih memperhatikanmu, Bu."

Ineebu tersenyum dengan air mata bahagia yang mengalir. "Anakku, tidak perlu minta maaf. Yang terpenting adalah kita berada di sini sekarang. Seperti Ibu Bumi, aku ingin kita saling menjaga dan merawat satu sama lain."

Hari itu, dia mengingatkan anak-anaknya bahwa Ibu Bumi yang memberi segalanya tanpa pamrih memerlukan perhatian kita, sama seperti seorang ibu.

Mereka melakukan perjanjian untuk lebih sering berkumpul, merawat satu sama lain dan Ibu Bumi. Dalam momen sederhana itu, Ineebu tidak hanya merayakan Hari Ibu, tetapi juga menyemai harapan baru dalam hati anak-anaknya.

Dan di atas segalanya, Ineebu menyadari satu hal: cinta itu takkan pernah pudar, meskipun kadang terlupakan. Seperti Ibu Bumi yang selalu setia, cinta seorang ibu takkan pernah berhenti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun