Mendengar keku uwi demikian orang-orang yang sudah berpakaian adat lengkap akan segera menuju tengah kampung untuk mengikuti dan memulai tandak bersama.Â
Jika kita mengikuti upacara ini dengan penuh hikmat, terasa jiwa bergetar, mencekam rasa antara kekaguman dan ketakutan yang luar biasa mendalam kepada para dewa, para leluhur yang disembah dan dipuji.
Reba bukanlah pesta pemujaan pada makanan (sebagaimana yang diwakili dalam lagu tandak O Uwi). Reba terutama pujian syukur kepada Penguasa kehidupan yang telah memberikan leluhur yang begitu penuh perhatian sehingga mewariskan tradisi syukur yang luar biasa.Â
Syukur atas apa? Syukur atas hasil bumi (ubi dan padi) yang telah ditanam dan dipanen oleh masyarakat. Itulah kira-kira makna religius yang bisa ditangkap dari pesta reba.
Secara sosio-antropologis --secara kasat mata dari ramainya orang berkumpul mulai dari ulu eko, padhi mena dan padhi sale) -- reba menjelaskan arti kesetaraan seluruh warga Kampung Jere dan Maghilewa sebagai anak turunan dari satu leluhur. Mereka duduk bersama makan dan minum dari tungku, piring dan "gelas" tuak yang sama.
Demikianlah beberapa kesan yang bisa disimpulkan dari pesta reba yang terus mengiang dalam memoriku. Terima kasih Malapedho, terima kasih Nua Jere dan Maghilewa. Salam kangen dari tanah rantau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H