Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kopi dan Hujan Tengah Hari

12 Desember 2024   15:00 Diperbarui: 12 Desember 2024   19:54 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi kopi dan hujan, olahan GemAIBot, dokpri)

KOPI DAN HUJAN TENGAH HARI

(tentang Politisi Oportunis)

Di awal, janji menyeruak harum,
Seperti kopi tersaji dalam dekapan hujan,
Politisi menabur kata, manis penuh angan.

Di tengah, rasa mulai hambar,
Kopi yang mendingin, janji yang memudar,
Hujan berubah menjadi tirai kepalsuan, samar.

Di akhir, pahit mengendap di dasar,
Ambisi teraih, rasa pun tak bersisa,
Aji mumpung jadi mantra, lawan tak lagi tersadar.

***

Saya mencoba mengulas ketiga bait puisi di atas dari sudut pandang psiskologi, politik, sosiologi dan antropologi terhadap mentalitas politisi oportunis yang gila kekuasaan, yang ingin menguasai hajat hidup orang banyak dengan mengutamakan politik dinasti (yang cenderung tak tahu diri). Lalu dari sana kita bertanya lebih menukik, bagaimana sebaiknya perpolitikan Indonesia dijalankan secara lebih beretika dan bermoral agar memutus mata rantai politik dinasti yang diwariskan turun temurun?

Meneropong melalui Empat Perpektif

1. Perspektif Psikologi: Nafsu Kekuasaan dan Manipulasi

Politisi oportunis digerakkan oleh kebutuhan kekuasaan yang tinggi, sesuai dengan teori motivasi McClelland*. Hasrat mendominasi dan memengaruhi menjadi dorongan utama, sering kali tanpa diimbangi empati atau tanggung jawab moral. Hal ini menciptakan perilaku narsistik: berfokus pada pencapaian pribadi dan mengabaikan kebutuhan masyarakat.

[*Teori motivasi McClelland mengemukakan bahwa individu dipengaruhi oleh tiga kebutuhan utama: kebutuhan untuk berprestasi (nAch), yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan dan mengatasi tantangan; kebutuhan untuk berafiliasi (nAff), yang mendorong seseorang untuk membangun hubungan sosial yang baik dan diterima oleh orang lain; dan kebutuhan untuk berkuasa (nPow), yang mendorong seseorang untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain. Ketiga kebutuhan ini berkembang melalui pengalaman dan lingkungan, dan memiliki pengaruh yang berbeda pada perilaku individu.

Jika diuraikan satu demi satu: Kebutuhan untuk Berprestasi (Need for Achievement - nAch): Kebutuhan untuk mencapai keberhasilan, mengatasi tantangan, dan memperoleh pengakuan atas hasil kerja keras. Individu dengan kebutuhan ini cenderung mencari tugas yang menantang namun masih dalam batas kemampuan mereka. Kebutuhan untuk Menghubungkan Diri dengan Orang Lain (Need for Affiliation - nAff): Kebutuhan untuk diterima dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Individu dengan kebutuhan ini lebih menyukai lingkungan yang harmonis dan mendukung. Dan Kebutuhan untuk Kekuasaan (Need for Power - nPow): Kebutuhan untuk mempengaruhi, mengendalikan, atau memimpin orang lain. Individu dengan kebutuhan ini ingin memiliki kontrol atau pengaruh dalam situasi sosial dan profesional.]

Dalam psikologi sosial, politisi oportunis kerap memanfaatkan cognitive dissonance di masyarakat. Mereka menggunakan retorika moral yang tampak altruistik untuk menutupi agenda pribadi, menciptakan kebingungan dan justifikasi di kalangan pendukung. Ini memperkuat budaya ketergantungan pada figur, bukan pada prinsip.

2. Perspektif Politik: Defisit Etika dan Sistem yang Lemah

Dari sudut politik, fenomena ini menunjukkan lemahnya integritas dalam tata kelola kekuasaan. Sistem politik yang tidak transparan memberi ruang untuk praktik nepotisme dan eksploitasi. Posisi publik dipandang sebagai alat akumulasi kekayaan, bukan amanah pelayanan.

Partai politik kerap gagal dalam kaderisasi yang etis dan profesional. Popularitas dan kemampuan finansial lebih diprioritaskan dibandingkan integritas. Akibatnya, sistem politik lebih mengedepankan kompetisi pragmatis ketimbang pelayanan publik yang berkelanjutan.

3. Perspektif Sosiologi: Melemahkan Demokrasi dan Solidaritas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun