Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Asmara di Bawah Hujan

9 Desember 2024   05:58 Diperbarui: 9 Desember 2024   10:02 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Asmara di Bawah Hujan Pagi

[Hujan yang mengguyur Yogyakarta sejak pukul 03 membuatku terbangun. Hujan memberi ide tentang keserakahan dan haus jabatan (bumi yang terus menyerap air seberapapun banyaknya), maka lahirlah cerpen dengan judul romantis tetapi isinya bikin mulas. Hampir 2 jam cerpennya baru jadi, diselingi menguap dan kantuk, mual pada si Sonto (yang bukan loyo)]

Hujan rintik mengiringi pagi yang biasanya disambut cangkir teh hangat dan obrolan ringan di beranda rumah. Namun, bagi Sonto, mantan pejabat yang dulunya diagung-agungkan, pagi ini hanya permulaan dari langkah-langkah culas yang telah ia rancang.

Setelah turun dari jabatan, ia tidak pernah benar-benar melepaskan kekuasaannya. Bagi Sonto, kekuasaan adalah harta warisan yang tak boleh lenyap begitu saja, apalagi jatuh ke tangan orang yang menurutnya tak pantas.

Di sudut-sudut istana, bayangan Sonto terus terlihat. Kadang ia muncul di ruang rapat tanpa diundang, membawa tumpukan dokumen "penting" seolah-olah ia masih berwenang. Wajahnya yang penuh senyum basa-basi kerap membuat pejabat baru, Pramana, merasa terintimidasi. Pramana adalah boneka yang dipilih oleh Sonto sendiri, bukan karena kemampuan, melainkan karena kelemahan yang mudah dimanfaatkan.

"Jangan lupa, saya masih punya banyak teman di keamanan," ujar Sonto suatu pagi, sembari menepuk bahu Pramana. Kata-kata itu lebih terdengar seperti ancaman daripada nasihat. Pramana hanya tersenyum kecut, mengangguk pelan, dan berjanji akan mempertimbangkan "saran" dari sang mantan.

***

Sonto tidak hanya puas mengendalikan Pramana. Ia juga menyusun strategi panjang untuk memastikan cucu-cucunya kelak mewarisi kekuasaannya. Mulai dari mendekati partai politik hingga memperluas jaringan bisnis keluarga, semuanya dirancang dengan teliti. Ia mengutus anak-anaknya untuk bertemu para pengusaha dan pejabat daerah, menawarkan "kerja sama" dengan imbalan loyalitas.

Di satu sisi, media mulai mencium aroma busuk di balik aktivitas Sonto. Artikel-artikel tentang bagaimana ia masih menggunakan fasilitas negara secara sembunyi-sembunyi mulai bermunculan. Namun, Sonto tidak peduli. "Media hanya alat propaganda," katanya kepada anak sulungnya, Darma.

Namun, di balik kekuatan yang ia tunjukkan, ada ketakutan besar yang ia sembunyikan. Sonto tahu bahwa waktu tidak akan berpihak padanya. Tubuhnya yang dulu gagah kini mulai ringkih. Tekanan darahnya sering melonjak, dan ia kerap mengalami sakit kepala yang tak kunjung reda. Tapi Sonto selalu menolak pergi ke dokter. "Orang kuat tidak perlu dokter," ucapnya penuh kesombongan.

***

Pada suatu pagi yang basah oleh hujan, Sonto kembali datang ke istana tanpa pemberitahuan. Ia berjalan dengan penuh percaya diri, mengenakan jas mahal yang mengilap karena terkena cipratan hujan. Di ruang rapat, Pramana sedang berbicara dengan beberapa menteri, membahas program baru yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sonto masuk tanpa mengetuk pintu, menginterupsi diskusi dengan gaya khasnya. "Program ini harus ditunda. Kita punya prioritas lain," katanya sambil melempar pandangan tajam ke arah Pramana.

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat Sonto melangkah maju, tubuhnya mendadak kaku. Ia terjatuh di lantai, tak mampu bergerak. Serangan stroke mendadak menghentikan segala rencananya. Para menteri segera memanggil ambulans, namun di wajah mereka terpancar ekspresi yang sulit ditebak: antara khawatir dan lega.

Berita tentang kondisi Sonto menyebar dengan cepat. Media yang sebelumnya hanya berani menyinggungnya secara halus kini mulai memberitakan keburukannya secara gamblang. "Inilah akibat dari keserakahan tanpa batas," tulis salah satu kolumnis ternama.

***

(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Sonto selamat dari stroke, namun tubuhnya lumpuh sebagian. Ia hanya bisa duduk di kursi roda, berbicara dengan suara terbata-bata. Namun, yang lebih menyakitkan baginya bukanlah kondisi fisiknya, melainkan rasa malu yang kini diwariskan kepada keluarganya.

Anak-anaknya yang sebelumnya sering tampil di acara-acara resmi kini menghindari sorotan publik. Mereka mulai disindir sebagai "ahli waris keserakahan." Bisnis keluarga yang dulu berkembang pesat perlahan-lahan kehilangan mitra.

Di suatu pagi yang sama kelabunya, cucu Sonto, Nara, bertanya kepada ibunya, "Bu, kenapa kakek ingin semua orang takut padanya?" Pertanyaan polos itu membuat Darma, anak sulung Sonto, terdiam lama. Ia sadar bahwa ambisi ayahnya telah meninggalkan beban berat bagi generasi berikutnya.

Sonto, yang mendengar percakapan itu dari kursi rodanya, hanya bisa menangis dalam diam. Ia tahu bahwa ini adalah kualat yang tak bisa ia hindari. Bukan hanya tubuhnya yang lumpuh, tetapi juga warisannya: yang kini bukan lagi kekuasaan, melainkan rasa malu yang menempel di nama keluarganya.

Hujan terus turun, seolah-olah ingin menghapus jejak-jejak dosa yang telah ia torehkan. Namun, seperti noda pada kain putih, beberapa kesalahan tidak bisa dihapus begitu saja. Sonto hanya bisa menatap keluar jendela, berharap bahwa waktu akan memberinya kesempatan kedua: meskipun ia tahu, kesempatan itu mungkin tidak akan pernah datang.

***

Para pemimpin yang lain ketika tahu si Sonto menderita di ujung taring kekuasaan, mulai cemas dan waspada, jangan sampai kita mengalami yang sama akibat keserakahan kita dalam menindas dan menipu rakyat. Karena selama ini rakyat selalu di bibir kita, tetapi keluarga selalu yang utama soal dompet dan rezeki di jalur ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun