Sonto masuk tanpa mengetuk pintu, menginterupsi diskusi dengan gaya khasnya. "Program ini harus ditunda. Kita punya prioritas lain," katanya sambil melempar pandangan tajam ke arah Pramana.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat Sonto melangkah maju, tubuhnya mendadak kaku. Ia terjatuh di lantai, tak mampu bergerak. Serangan stroke mendadak menghentikan segala rencananya. Para menteri segera memanggil ambulans, namun di wajah mereka terpancar ekspresi yang sulit ditebak: antara khawatir dan lega.
Berita tentang kondisi Sonto menyebar dengan cepat. Media yang sebelumnya hanya berani menyinggungnya secara halus kini mulai memberitakan keburukannya secara gamblang. "Inilah akibat dari keserakahan tanpa batas," tulis salah satu kolumnis ternama.
***
Sonto selamat dari stroke, namun tubuhnya lumpuh sebagian. Ia hanya bisa duduk di kursi roda, berbicara dengan suara terbata-bata. Namun, yang lebih menyakitkan baginya bukanlah kondisi fisiknya, melainkan rasa malu yang kini diwariskan kepada keluarganya.
Anak-anaknya yang sebelumnya sering tampil di acara-acara resmi kini menghindari sorotan publik. Mereka mulai disindir sebagai "ahli waris keserakahan." Bisnis keluarga yang dulu berkembang pesat perlahan-lahan kehilangan mitra.
Di suatu pagi yang sama kelabunya, cucu Sonto, Nara, bertanya kepada ibunya, "Bu, kenapa kakek ingin semua orang takut padanya?" Pertanyaan polos itu membuat Darma, anak sulung Sonto, terdiam lama. Ia sadar bahwa ambisi ayahnya telah meninggalkan beban berat bagi generasi berikutnya.
Sonto, yang mendengar percakapan itu dari kursi rodanya, hanya bisa menangis dalam diam. Ia tahu bahwa ini adalah kualat yang tak bisa ia hindari. Bukan hanya tubuhnya yang lumpuh, tetapi juga warisannya: yang kini bukan lagi kekuasaan, melainkan rasa malu yang menempel di nama keluarganya.
Hujan terus turun, seolah-olah ingin menghapus jejak-jejak dosa yang telah ia torehkan. Namun, seperti noda pada kain putih, beberapa kesalahan tidak bisa dihapus begitu saja. Sonto hanya bisa menatap keluar jendela, berharap bahwa waktu akan memberinya kesempatan kedua: meskipun ia tahu, kesempatan itu mungkin tidak akan pernah datang.
***