"Kami di sini, mendambakan keadilan!" Seruan itu pergi menembus kabut, namun hanya hampa dan dijawab oleh kesunyian.
Hari-hari terus berlanjut, dan waktu seolah melupakan apa yang terjadi di tepi jurang. Pemimpin berganti, janji-janji keadilan terucap di mulut mereka yang berkuasa. "Kami akan menyelidiki! Kami akan memberi mereka pengakuan!"
Namun semua itu hanyalah angin lalu: sebuah ilusi yang menipu. Puluhan purnama berlalu tanpa tanda-tanda pengakuan, tak ada juga titik terang dalam gelapnya malam.
Setiap subuh yang datang hanya memperburuk luka bagi mereka yang ditinggalkan. Seperti ritual, kabut pekat menutupi desa saat mentari bersinar. Tak ada seorang pun yang berani menatap ke jurang. Tak ada satu pun yang bersedia mendengarkan jeritan yang menggema di dalamnya. Warga hidup dalam ilusi aman, menutup mata terhadap kegelapan yang ada di depan mereka.
Dalam hati mereka, hari kebangkitan penantian seolah terukir: "Kapan keadilan akan menjelma? Kapan kami akan merasakan kembali sentuhan kasih sayang?"
Tapi tiada jawaban yang dapat terucap. Yang tersisa hanyalah bayangan, kenangan, dan harapan yang memudar. Tertinggal di dalam jurang yang kelam, setiap jiwa terjebak dalam kesedihan yang tak berkesudahan, menunggu dengan sabar apakah suatu hari Martabat mereka akan terapungkan ke permukaan.
Kepedihan akan kehilangan dan penantian tanpa akhir tak boleh dilupakan. Mereka yang kini terpenjara di antara kabut dan suara hujan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah, terkurung dalam ingatan kita.
Apakah kita akan membiarkannya begitu saja? Atau akankah kita berani untuk mendengarkan jeritan itu, bahkan jika hanya sebagai bisikan dalam sepi?
Di balik kabut yang menyelimuti, ingatan ini harus terus hidup, mengingatkan kita akan tanggung jawab moral kita, untuk melawan keangkuhan dan mencari keadilan bagi mereka yang tak berdaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H