Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Jeritan Subuh dari Dalam Jurang

9 Desember 2024   01:00 Diperbarui: 9 Desember 2024   01:01 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Jeritan Subuh dari Dalam Jurang

Pada Senin subuh puluhan purnama silam, saat langit masih tertutup tirai kabut tebal, suasana desa tak berbeda dari biasanya. Ketenangan pagi seolah menyelimuti segalanya, namun di balik keindahan itu, mengintai kengerian yang siap memangsa.

Di ujung hutan, kelompok pasukan berseragam hitam tampak bergerak perlahan. Mereka mendatangi rumah-rumah warga dengan taktik terencana, membawa serta aura ketakutan yang mencekam.

Malam telah menjadi saksi bisu di balik jendela-jendela yang diperhatikan oleh mata penuh kerisauan, saat pintu-pintu rumah dirobek paksa oleh tangan-tangan yang tak berperasaan. Jeritan wanita dan anak-anak menembus kesunyian hingga mengganggu ketenangan fajar yang menyingsing.

Para ayah yang berusaha melindungi keluarga mereka hanya bisa menjadi penonton bisu ketika pasukan itu menyeret mereka, menghilangkan harapan dalam sekejap.

"Jangan, please! Jangan bawa dia!" teriak seorang ibu yang berlutut, menggenggam erat baju suaminya yang akan ditarik pergi. Namun, tubuh suaminya tetap dibawa mereka dengan kejam dan tak berperasaan.

Mereka diarak menuju pinggiran jurang, tempat gelap yang menyimpan banyak rahasia kelam, berselimutkan kabut kelam yang tak kunjung sirna. Di sana, di tepi jurang, para lelaki dihadapkan pada nasib yang tak terelakkan. Diperintahkan untuk berdiri dalam barisan, jari-jari mereka menggenggam keras tanah, mencoba mencari pegangan di tengah kepanikan. Dalam hati, mereka berharap ini hanyalah mimpi buruk.

"Mereka pendosa!" teriak pemimpin pasukan, suaranya menggema menembus hening. "Hukum harus dijalankan." Tidak ada kata lain yang bisa menawarkan pengertian, tidak ada belas kasih yang tersisa dalam suara brutalnya ketika peluru mulai melesat. Jeritan dan panggilan minta tolong tak ada artinya, dibungkam oleh derap peluru yang menghujani tubuh-tubuh tak berdaya.

Seketika baik jiwa maupun raga hancur dalam satu tirani yang kejam, tubuh-tubuh mereka terlempar ke dalam jurang, bagaikan biji-bijian yang tercecer. Dalam keterpurukan itu, mereka mencari jalan kembali, namun tak ada jalan pulang. Keberadaan mereka lenyap dalam gelapnya jurang, meninggalkan jejak kesedihan yang tak pernah terhapus.

Sejak hari itu, setiap Senin subuh, jeritan tak terlihat bergema dari dalam jurang. Mereka -arwah-arwah yang terkurung dalam keputusasaan- melolong seperti anjing, meminta tolong dalam diam.

"Kami di sini, mendambakan keadilan!" Seruan itu pergi menembus kabut, namun hanya hampa dan dijawab oleh kesunyian.

Hari-hari terus berlanjut, dan waktu seolah melupakan apa yang terjadi di tepi jurang. Pemimpin berganti, janji-janji keadilan terucap di mulut mereka yang berkuasa. "Kami akan menyelidiki! Kami akan memberi mereka pengakuan!"

Namun semua itu hanyalah angin lalu: sebuah ilusi yang menipu. Puluhan purnama berlalu tanpa tanda-tanda pengakuan, tak ada juga titik terang dalam gelapnya malam.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Setiap subuh yang datang hanya memperburuk luka bagi mereka yang ditinggalkan. Seperti ritual, kabut pekat menutupi desa saat mentari bersinar. Tak ada seorang pun yang berani menatap ke jurang. Tak ada satu pun yang bersedia mendengarkan jeritan yang menggema di dalamnya. Warga hidup dalam ilusi aman, menutup mata terhadap kegelapan yang ada di depan mereka.

Dalam hati mereka, hari kebangkitan penantian seolah terukir: "Kapan keadilan akan menjelma? Kapan kami akan merasakan kembali sentuhan kasih sayang?"

Tapi tiada jawaban yang dapat terucap. Yang tersisa hanyalah bayangan, kenangan, dan harapan yang memudar. Tertinggal di dalam jurang yang kelam, setiap jiwa terjebak dalam kesedihan yang tak berkesudahan, menunggu dengan sabar apakah suatu hari Martabat mereka akan terapungkan ke permukaan.

Kepedihan akan kehilangan dan penantian tanpa akhir tak boleh dilupakan. Mereka yang kini terpenjara di antara kabut dan suara hujan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah, terkurung dalam ingatan kita.

Apakah kita akan membiarkannya begitu saja? Atau akankah kita berani untuk mendengarkan jeritan itu, bahkan jika hanya sebagai bisikan dalam sepi?

Di balik kabut yang menyelimuti, ingatan ini harus terus hidup, mengingatkan kita akan tanggung jawab moral kita, untuk melawan keangkuhan dan mencari keadilan bagi mereka yang tak berdaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun