"Aku tidak sedang bermain. Teh ini adalah medium untuk mendengarkan jeritan mereka yang terkurung oleh keserakahan," jawab Pak Darto dengan tatapan semakin menakutkan.
Tanpa berpikir panjang, Rizal menumpahkan sisa teh ke lantai, berharap bisa menghentikan semua ini. Namun, bayangan-bayangan itu justru merayap lebih dekat, kedinginan menembus kulit mereka, seolah mengundang mereka terbenam lebih dalam ke dalam kegelapan.
Akhirnya, mereka berdua sepakat untuk melarikan diri dari kedai itu. Dalam kepanikan, meskipun langkah terasa terikat, mereka berhasil membuka pintu dan melarikan diri ke malam yang kelam. Dalam kepanikan, mereka tidak berani menengok ke belakang, hanya meneruskan langkah tanpa tujuan.
Sejak malam itu, kedai Pak Darto menjadi tempat yang selalu mereka hindari. Namun, rasa penasaran tidak pernah sepenuhnya lenyap. Setiap kali mereka melewati kebun teh di dalam tanah tambang, bisikan dari masa lalu kembali mengingatkan mereka bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan kelam di balik teh yang pernah mereka cicipi.
Rizal dan Nila terjebak dalam rasa ingin tahu yang terus mengganggu, terikat selamanya pada kenangan menakutkan di Kedai Pak Darto. Meskipun mereka berusaha melupakan, suara-suara itu terkadang kembali mengusik malam mereka, menegaskan bahwa pesta teh malam Sabtu Kliwon bukan sekadar pesta: itu adalah penahanan ingatan bagi semua yang ditinggalkan dan terabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H