Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Teh Lokal di Kedai Teteh Rina

5 Desember 2024   20:30 Diperbarui: 5 Desember 2024   20:36 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Teh Lokal di Kedai Teteh Rina

Di tengah deretan pohon teh yang menjulang dan suasana mendamaikan, terdapat sebuah kedai unik yang menjelma menjadi surga bagi para pecinta teh. Kedai milik Teteh Rina bukan hanya sekadar tempat untuk menikmati berbagai jenis teh, melainkan juga panggung cerita yang penuh dengan tawa dan pertemuan tak terduga.

Pemilik kedai teh ini, seorang teteh yang bijaksana dan sangat ramah. Kedai ini dikelilingi oleh tanaman teh yang rimbun dan terasa segar setiap kali seseorang masuk. Teteh Rina, pemilik kedai, dikenal sebagai penjual teh legendaris yang selalu berhasil menghadirkan aroma dan rasa teh lokal yang tiada duanya.

Suatu hari, dua pemuda, Andi dan Budi, berkunjung ke kedai teh Teteh Rina. Keduanya adalah sahabat yang sama-sama menyukai teh, tetapi dalam satu hal mereka berbeda: Andi lebih suka teh hitam, sementara Budi adalah penggemar berat teh hijau. Mereka masuk ke kedai dengan semangat dan rasa penasaran.

"Wow, lihatlah tempat ini, Andi! Aromanya, sepertinya ada yang spesial di sini!" kata Budi dengan semangat.

"Ya, Budi. Kita harus coba semua teh yang ada!" jawab Andi, sambil menatap deretan botol teh yang penuh warna.

Begitu tiba di meja kasir, Teteh Rina menyambut mereka dengan senyuman hangat. "Selamat datang, nak. Teh apa yang ingin kalian coba hari ini?"

Andi dan Budi saling bertukar pandang. "Teteh, bisakah kami mencicipi teh lokal yang terkenal di sini?" tanya Andi dengan penuh percaya diri.

"Ah, tentu saja! Kami punya teh Poci dari daerah sini. Rasanya khas dan sangat menyegarkan. Apakah kalian mau mencoba?" jawab Teteh Rina.

Mendengar kata "Poci", wajah Andi menampilkan ekspresi mencolok. "Poci? Bukankah itu nama perabotan? Kenapa namanya Teh Poci?"

Teteh Rina tertawa. "Namanya memang unik, nak. Karena teh ini disajikan dalam poci. Poci adalah teko kecil yang terbuat dari tanah liat. Setiap teguk membawa rasa yang berbeda! Selain itu, ada juga cerita bahwa poci ini bisa membawa keberuntungan!"

Budi yang mendengar itu langsung bersemangat. "Dari pada kita bingung menentukan pilihan, lebih baik kita ambil saja dua poci teh ini, satu teh Poci dan satu kopi Rina!" ujarnya.

"Eh, kamu maksud kopi? Kenapa tidak hanya fokus pada teh?" Andi protes sembari menggoyangkan kepala. "Kita ini di kedai teh, Budi."

Teteh Rina yang mendengar perdebatan kecil itu hanya bisa tertawa geli. "Tenang saja, nak. Teh dan kopi bisa berdampingan. Mari kita coba."

Setelah beberapa menit, Teteh Rina kembali membawa dua poci kecil. "Ini dia, Teh Poci dan Kopi Rina. Nikmatilah, ya!"

Andi dan Budi saling menatap dengan penasaran. Mereka memegang poci kecil itu dan mulai menghirup aromanya. "Wow, aromanya segar sekali!" seru Budi.

(Ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)
(Ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Mereka pun mulai mencicipi. Ketika Andi merasakan Teh Poci, matanya berbinar. "Ini luar biasa! Rasanya begitu lembut dan natural!"

Budi, yang sudah mencicipi Kopi Rina, berteriak, "Dan ini, sepertinya bisa bikin kita terbang ke bulan, Andi!"

Teteh Rina menambahkan, "Kembangan di dalam kedai ini membuat semua orang seperti terbang, nak. Nikmati saja!"

Namun, kebingungan muncul ketika mereka berdua tiba-tiba berdebat tentang siapa yang harus membayar. "Saudaraku, aku yang memilih Teh Poci. Jadi, seharusnya kamu yang membayar," kata Andi.

"Tapi aku juga ingin Kopi Rina! Ini semua salahmu karena menggoda aku untuk mencobanya!" balas Budi, tidak mau kalah.

"Hah! Kita bisa minta Teteh Rina untuk memberi kita potongan harga jika kita berdua membayar!" saran Andi.

Teteh Rina yang mendengar itu hanya mengetuk dahi dengan senyum. "Nak, kenapa tidak saja kalian berbagi? Teh dan kopi sama-sama enak, jadi kalian cukup membagi biaya."

Keduanya bingung. "Bagaimana kita bisa berbagi, Teteh? Apakah kita memotong poci ini menjadi dua?" tanya Budi, setengah serius.

"Yang ini tidak perlu dipotong. Yang penting, hati kalian yang harus terbuka untuk berbagi rasa," jawab Teteh sambil tertawa.

Akhirnya, mereka bersepakat untuk membayar setengah-setengah dan berbagi poci. Dalam proses itulah, keduanya menjadi lebih akrab. Teh Poci dan Kopi Rina ternyata bukan hanya minuman, melainkan cara untuk mempererat persahabatan.

Sejak saat itu, Andi dan Budi tidak hanya menjadikan kedai teh Teteh Rina sebagai tempat favorit mereka, tetapi juga sebagai tempat pelajaran penting tentang persahabatan dan berbagi. Mereka pulang dengan perasaan puas dan tawa yang bergema di antara mereka.

Dan begitulah, di kedai Teteh Rina, di mana teh dan tawa bertemu, lahir kisah baru antara dua pemuda, yang selalu mengingat setiap cangkir yang dicicipi dan setiap tawa yang dibagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun