Sebuah Tanya di Sekolah Pemilih: Kenapa Pemenangnya Dia?
Di sebuah kampung kecil di pinggiran Jakarta, hasil Pilkada membuat geger. Rido, calon yang didukung belasan partai, merasa kurang percaya diri karena hanya meraih suara 30-an persen. Sementara Prano, calon solois dengan dukungan satu partai, langsung menggelar syukuran. Di sinilah cerita absurd tentang politik lokal dimulai, dengan intrik, tawa, dan "sekolah pemilih" yang hadir untuk memberikan pencerahan, walau kadang dengan cara yang menggelikan.
Sore malam ini, menjelang magrib, di Kampung Pemilih Mapan, Rido yang terkejut dengan hasil suara, mengumpulkan pendukungnya di balai desa. Mereka semua membuat ekspresi wajah seakan sedang mendengar kabar buruk tentang kenaikan harga gorengan. Rido, yang sebenarnya juga meragukan pilihan rakyat, segera berinisiatif mengadakan "Sekolah Pemilih", berharap bisa menciptakan generasi pemilih yang lebih paham akan pentingnya ikut memilih bila perlu libatkan semua anak biar suaranya capai target.
"Saya tidak mengerti, kenapa kita hanya dapat 30 persen suara?! Bukankah kita sudah dua bulan blusukan ke mana-mana? Apakah suara kita kurang lantang yang terdengar di telinga rakyat?" Rido menggerutu sambil memegang flyer janji kampanyenya yang tak kunjung ditebus.
Di saat yang sama, Prano, dengan senyum lebar dan kacamata hitamnya -seolah-olah baru saja kembali dari konser- merayakan kemenangannya. "Buah kerja keras, teman-teman! Kita buktikan bahwa satu partai pun bisa menang, karena di belakang kita ada rakyat yang dambakan perubahan bukan retorika yang licin seperti seterika!"
Sementara Rido sibuk merencanakan sekolah pemilih, salah satu pendukungnya memberi saran konyol. "Kita ajak orang-orang nonton film politik, biar mereka tahu Rido adalah pemenang sejati!"
"Sumber daya kakak bisa kita pakai untuk film horor, mungkin mereka akan lebih paham kenapa suara kita seram," sahut yang lain, membuat semua orang tertawa.
"Sekolah Pemilih" akhirnya dibuka dengan tema "Bagaimana kita harus menang?" Pesertanya? Murid-murid SD yang dikumpulkan secara gratis. Dalam kelas ini, mereka diajarkan tentang betapa pentingnya berpolitik yang baik, tapi nyatanya justru lebih banyak ketawa dibandingkan mengerti.
"Tanya jawab tentang memilih pemimpin," kata Rido, mencoba memulai kelas. "Kalau kamu lebih suka bola ketimbang basket, siapa yang lebih pantas jadi pemimpin?"
"Yang boleh masuk lapangan kanan aja, biar enggak offside!" jawab seorang bocah. Semua pun tertawa, bahkan Rido ikut geleng-geleng kepala, merasa 'pedih' untuk dijadikan contoh.
Satu anak tiba-tiba berkata lantang, "Lebih penting cari yang bisa bikin kita kebal dari PR, Kak!"
Di akhir acara, Rido menganggap sekolahnya sukses, meskipun tidak seorang pun mengerti siapa pemenangnya. Dan akhirnya, ketika hasil quick count keluar, semua orang di kampung pun paham. Kemenangan Prano tercatat sebagai kesuksesan yang tulus atas pilihan rakyat, bukan hal gaib.
Walau Rido mencoba berbagai cara untuk meraih suara, semua orang di kampung mulai berpikir bahwa yang penting bukan siapa yang punya 12 partai, tapi siapa yang bisa membuat hidup mereka lebih mudah dan lucu alias tidak pusing mikirin janji-janji palsu. Ibarat lagi pacaran, yang janji doang layak diputus kontrak di atas meterai.
"Kalau kita hanya 30 persen, jangan harap kita bisa bikin orang senang," teriak Rido, tapi suara itu tak lebih dari tawa riuh dari sekolah pemilihnya yang kemungkinan besar akan lebih mengingat pelajaran memahami humor ketimbang politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H