Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kekalahan di Tepi Jalan

28 November 2024   08:15 Diperbarui: 28 November 2024   08:51 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka menyusun program, menghadirkan pembicara, mengundang orang-orang hebat untuk berbagi pengalaman. Perlahan, semangat masyarakat mulai terbakar. Di sela-sela kegiatan, anak-anak mulai bermain lompat tali dan balap karung, sementara orang dewasa berdiskusi mengenai nilai-nilai demokrasi. Semua bisa merasakan keadilan di panggung yang disiapkan untuk perjuangan demokrasi yang sesungguhnya.

Setelah berbulan-bulan penuh usaha dan dedikasi, hari yang dinantikan pun tiba. Mereka mengadakan pemilihan di tingkat desa dengan sistem yang transparan dan adil. Rakyat diberi kebebasan memilih, tanpa tekanan, tanpa amplop. Semua bisa merasakan keadilan di panggung yang disiapkan untuk perjuangan demokrasi yang sesungguhnya.

Namun, hasil suara mengejutkan. Jagoan A dan B yang mereka banggakan tersisih oleh seorang pedagang kecil, Umi, yang selama ini tak pernah terjamah oleh mimpi politik. Dalam keramaian tepuk tangan, kemenangan kecil Umi adalah sinar harapan baru bagi desa. Dia mengangkat tangan, tidak untuk iklan politik melainkan untuk mengajak semua merawat keyakinan bahwa kemandirian rakyat adalah satu-satunya jalan.

Sejak saat itu, desa tersebut bertransformasi menjadi contoh bagaimana mengubah paradigma dalam berdemokrasi. Para tokoh yang sebelumnya mengandalkan politik sembako kini tertunduk malu, menyadari betapa busuknya cara mereka.

(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Di ujung malam, ketika lilin-lilin dinyalakan sebagai lambang perjuangan, semua penduduk sepakat satu suara: "Berhentilah menyogok rakyat dengan politik bansos, tapi didiklah rakyat dengan politik nurani. Jangan sampai membuat kami muak melihat "kalian" (yang dituju tentu para kandidat) makan kenyang di atas derita kami, tertawa riang di atas sikut-sikutan warga karena berbeda jagoan."

Dalam euforia kemenangan baru itu, satu hal jelas bagi semua: transformasi demokrasi tak akan pernah dilakukan oleh para negarawan palsu yang datang dengan senyuman munafik namun di tangan ada bara yang siap menghanguskan kekritisan wagra, melainkan oleh rakyat yang terdidik, berani, dan berintegritas. dan mereka adalah pahlawan sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun