Kekalahan di Tepi Jalan
Pagi cerah matahariku bersinar. hehe kayak lagu saja! Secerah fajar para pemilih yang bangga selepas mencoblos jagoannya di kota suara. Seluruh kampung berkumpul di balai desa untuk menyaksikan pengumuman hasil sementara pemilihan umum. Di antara kerumunan, dua timses jagoan yang saling berhadap-hadapan seperti dua raksasa di arena, saling mempertahankan keyakinan mereka. Aroma bumbu-bumbu masakan menyelimuti, mengingatkan mereka akan perlunya momen penting ini tidak hanya diisi dengan perdebatan, tapi juga dengan rasa persaudaraan dan perut yang kenyang.
Setelah tasyakuran, Mita, sang juru bicara jagoan A, melangkah maju dengan senyum yang dipaksakan, berusaha menutupi ketidakpastian di hatinya. "Kita semua tahu, dengan sistem quick count yang kredibel ini, jagoan kita adalah pemenang yang sesungguhnya! Selamat untuk A!"
Di ujung lain, Sandi, juru bicara jagoan B, menggelengkan kepala. "Ah, tidak semua orang bisa dibeli! Keberhasilan adalah milik jagoan yang paling tulus memperjuangkan aspirasi rakyat!" ujarnya, suara meluap-luap dengan semangat. Namun, keraguan mulai merayap di lubuk hatinya.
Tak mampu menahan sabar, Lela, salah satu pengamat juga tinggal di situ. "Kalian tidak sadar, kan? Semua ini hanya lelucon! Kita sudah dipermainkan dengan politik amplop, sembako, dan silau janji yang tidak pernah terwujud," katanya, menerobos kerumunan dengan pandangan maut. Lela adalah suara hati kaum intelektual yang sering tak didengar. Bakatnya untuk mendidik rakyat sering terhadang oleh hiruk-pikuk politik praktis yang menguntungkan segelintir orang.
Bicara mengenai politik lembek tak jauh dari kesakitan Emil, seorang veteran pejuang partai. Setelah sekian lama berjuang, semua usaha kupu-kupu terbang tak berjejak ketika mantan rival diam-diam memberi pengarahan kepada jagoan B, membagikan sembako tanpa henti. "Begini skema permainan mereka," dia menggerutu, "kekuasaan memang selalu mencari celah untuk meneguk suara tanpa rasa."
Di tengah lautan emosi, teriakan dari seorang warga membuat mereka terdiam. "Ada sesuatu yang lebih penting dari pertarungan ini!" seru Pak Rudi, sesepuh desa yang karismatik.Â
"Kita butuh pendidikan politik yang kuat, kelemahan kita semua adalah karena ketidakpedulian terhadap pemahaman politik. Kita hanya hura-hura sejenak lalu menyesal selama lima tahun dalam aneka derap kehidupan kita yang mungkin tak pernah dipedulikan mereka yang kita pilih hari ini." Ucapan itu membakar kesadaran di hati mereka.
Mita, Sandi, Emil, dan Lela saling berpandangan. Mereka lupa bahwa perjuangan bukan sekadar tentang mendulang suara, melainkan membangun generasi yang sadar akan hak dan kewajibannya.Â
Dalam secercah harapan, mereka sepakat untuk membuat lembaga pendidikan politik di kampung. Tempat di mana masyarakat bisa mendapatkan pemahaman tentang kepemimpinan, kewarganegaraan, dan integritas yang menurut mereka mulai luntur oleh gempita aji mumpung dan tersekap oleh tekanan wani piro yang kadang tidak nampak, tidak terendus tapi ada di tengah masyarakat.
Mereka menyusun program, menghadirkan pembicara, mengundang orang-orang hebat untuk berbagi pengalaman. Perlahan, semangat masyarakat mulai terbakar. Di sela-sela kegiatan, anak-anak mulai bermain lompat tali dan balap karung, sementara orang dewasa berdiskusi mengenai nilai-nilai demokrasi. Semua bisa merasakan keadilan di panggung yang disiapkan untuk perjuangan demokrasi yang sesungguhnya.
Setelah berbulan-bulan penuh usaha dan dedikasi, hari yang dinantikan pun tiba. Mereka mengadakan pemilihan di tingkat desa dengan sistem yang transparan dan adil. Rakyat diberi kebebasan memilih, tanpa tekanan, tanpa amplop. Semua bisa merasakan keadilan di panggung yang disiapkan untuk perjuangan demokrasi yang sesungguhnya.
Namun, hasil suara mengejutkan. Jagoan A dan B yang mereka banggakan tersisih oleh seorang pedagang kecil, Umi, yang selama ini tak pernah terjamah oleh mimpi politik. Dalam keramaian tepuk tangan, kemenangan kecil Umi adalah sinar harapan baru bagi desa. Dia mengangkat tangan, tidak untuk iklan politik melainkan untuk mengajak semua merawat keyakinan bahwa kemandirian rakyat adalah satu-satunya jalan.
Sejak saat itu, desa tersebut bertransformasi menjadi contoh bagaimana mengubah paradigma dalam berdemokrasi. Para tokoh yang sebelumnya mengandalkan politik sembako kini tertunduk malu, menyadari betapa busuknya cara mereka.
Di ujung malam, ketika lilin-lilin dinyalakan sebagai lambang perjuangan, semua penduduk sepakat satu suara: "Berhentilah menyogok rakyat dengan politik bansos, tapi didiklah rakyat dengan politik nurani. Jangan sampai membuat kami muak melihat "kalian" (yang dituju tentu para kandidat) makan kenyang di atas derita kami, tertawa riang di atas sikut-sikutan warga karena berbeda jagoan."
Dalam euforia kemenangan baru itu, satu hal jelas bagi semua: transformasi demokrasi tak akan pernah dilakukan oleh para negarawan palsu yang datang dengan senyuman munafik namun di tangan ada bara yang siap menghanguskan kekritisan wagra, melainkan oleh rakyat yang terdidik, berani, dan berintegritas. dan mereka adalah pahlawan sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H