Jejak di Ujung Tanah
Pagi yang cerah, desa kecil di pedalaman Indonesia, terlihat damai. Di gapura tertulis Desa Harapan. Di antara hamparan sawah yang hijau dan deretan pohon kelapa, berdirilah Sekolah Dasar Harapan. Sekolah kecil ini hanya memiliki tiga ruang kelas (yang sekolahnya model shift, pagi sampai siang kelas 1-3, siang sampai sore kelas 4-6), dengan atap yang pernah bocor dan dinding yang catnya mulai mengelupas. Belum ada laboratorium atau perpustakaan. Peralatan mengajar pun sangat terbatas; untuk menghiasi dinding kelas, guru hanya bisa mengandalkan spanduk sederhana bergambar angka dan huruf.
Setiap hari, anak-anak dengan semangat berlari menuju sekolah. Di antara mereka, ada Mira, seorang siswi kelas enam yang selalu menanti-nanti hari-hari belajar. Mimpinya sederhana; ia ingin belajar tentang dunia di luar Desa Harapan. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang terus mengganggu. "Bagaimana kalau Ujian Nasional datang? Bisakah aku lulus?" ia bertanya-tanya. Ujian Nasional, menurut gurunya, adalah penentu nasibnya ke depan, tetapi selama ini Mira tidak pernah merasakan latihan yang cukup seperti yang teman-temannya di kota lakukan.
Sementara itu, di dalam sudut desa, Udin, ayah Mira, seorang petani, duduk di serambi rumahnya dengan wajah yang serius. Ia khawatir. Setiap kali ia mendengar berita tentang Ujian Nasional yang akan datang, hatinya semakin berdebar. Di televisi, para pejabat berbicara tentang pentingnya pendidikan dan bagaimana Ujian Nasional menjadi cara untuk mengukur kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Namun, ia bertanya-tanya, "Apakah Ujian Nasional benar-benar adil bagi anakku?"
Udin ingat betapa susahnya mengambil buku pelajaran untuk Mira, apalagi untuk mengikuti kurikulum yang terus berubah. Di kota, anak-anak bersaing dengan teknologi, terlihat tenang dan siap menghadapi ujian. Namun di desanya, dengan minimnya sarana dan prasarana, anak-anak seperti Mira hanya bisa berharap pada keberuntungan. Udin mengingat saat ia pergi ke kota untuk membeli buku-buku pelajaran. "Ternyata harganya jauh lebih mahal dari yang aku kira," pikir Rudi. Belum lagi yang mau dia beli sudah tidak dipakai, karena kurikulumnya sudah berganti. Lah kapan gantinya? Mulai saja Udin dan warga desanya tidak tahu.
Di tempat lain, Eko, seorang pengamat pendidikan yang selama ini mengabdikan dirinya untuk memajukan pendidikan di pedalaman, gelisah. Ia baru saja menyelesaikan riset tentang perbandingan kualitas pendidikan di kota dan desa. "Sangat mencolok," ia mencatat dalam bukunya. Jumlah fasilitas pendidikan di kota meningkat pesat, sementara di desa seperti Desa Harapan, fasilitasnya nyaris tidak ada. Ujian Nasional seharusnya menjadi alat ukur. Namun, Eko berargumen, "Bagaimana mungkin kita bisa mengukur pendidikan yang sangat berbeda ini?"
Ia sering berkunjung ke Desa Harapan. Dalam kunjungannya kali ini, Eko terdengar ragu saat berbicara dengan para orang tua. "Saya ingin mengajak kalian berdiskusi tentang pendidikan anak-anak kita," katanya. Rudi dan orang tua lainnya berkumpul sambil menggelengkan kepala penuh keraguan. Mereka tahu sedikit tentang kurikulum yang seringkali berubah. "Kami hanya ingin anak-anak kami belajar dengan baik, tapi kami tidak tahu caranya," ungkap salah satu orang tua dengan nada putus asa.
Kegelisahan Eko tak hanya berputar di tataran masyarakat Desa Harapan. Ia menyadari bahwa kondisi serupa ada di banyak daerah terpencil di Indonesia. "Keadilan dalam pendidikan menjadi semakin kabur," tulisnya dalam catatan harian. "Pertanyaannya, apakah kita tak ingin melihat pendidikan yang adil bagi semua anak di seluruh tanah air?"
Di pagi hari menjelang Ujian Nasional, rasa pusing menggelayut di kepala Mira. Di kelas, suasana tegang terasa menghimpit mereka. Teman-temannya berdiskusi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk menghadapi ujian. "Tetapi kita tidak memiliki buku latihan," kata salah satu temannya, "seharusnya kita berlatih seperti teman-teman di kota."