"Kalian mungkin menikmati bermain tentara," lanjut sang veteran, "tapi jangan lupa, ada orang-orang yang benar-benar pernah mempertaruhkan nyawanya demi menjaga negeri ini. Seragam yang kalian kenakan mungkin membuat kalian merasa seperti pahlawan, tetapi menjadi pahlawan bukanlah soal mengenakan seragam atau memiliki nama di dada. Itu soal keberanian, pengorbanan, dan luka yang tidak pernah sembuh."
Arga tertegun mendengar ucapan itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa permainan ini tidak lebih dari sekadar ilusi. Sebuah hiburan kosong yang sama sekali tidak menyentuh realitas getir di balik kata "perang." Bahkan seragam yang dikenakannya, dengan namanya yang tersemat, tiba-tiba terasa berat, seolah-olah penuh beban yang tak bisa dipikulnya.
Permainan itu terus berlanjut sampai hari terakhir, dan para pemuda tetap berseru-seru, berbaris, dan berpura-pura berperang. Namun bagi Arga, permainan itu telah berubah. Yang tersisa hanyalah ironi, karena ketika seragam itu dilepas dan permainan usai, mereka semua akan kembali ke kehidupan biasa, tanpa pernah benar-benar memahami makna dari seragam dan peran yang mereka kenakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H