Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bermain Tentara di Negeri Seberang

27 Oktober 2024   20:48 Diperbarui: 27 Oktober 2024   22:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi bermain tentara hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Bermain Tentara di Negeri Seberang

Di negeri seberang, perayaan besar sedang berlangsung. Bukan sekadar pesta rakyat atau karnaval biasa, melainkan sebuah permainan yang dianggap serius. Para pemuda diundang untuk "bermain tentara," mengenakan seragam lengkap dengan nama di dada, dan berperan seolah-olah mereka sedang bersiap menghadapi musuh di medan perang. Semua itu dilakukan demi merayakan terpilihnya kepala pasukan baru yang dielu-elukan akan membawa perubahan besar bagi negeri.

Sebagai bentuk euforia, pemerintah setempat mengundang semua pemuda untuk bermain peran sebagai tentara selama beberapa hari. Sebuah permainan yang dianggap mampu menyulut rasa cinta tanah air dan meningkatkan semangat juang kaum muda.

Para pemuda pun dengan semangat menerima undangan itu. Mereka berbondong-bondong mendatangi lapangan terbuka yang telah disiapkan. Di sana, mereka diberi seragam tentara dengan nama yang tersemat gagah di dada kiri. Tidak ada yang mempersoalkan apakah seragam itu terlalu longgar atau terlalu sempit; mereka tetap mengenakannya dengan bangga. Ada yang perutnya terlihat buncit menonjol di balik seragam ketat, ada pula yang celananya terus melorot karena terlalu longgar. Namun, itu semua tak menghalangi mereka untuk merasa seperti pahlawan yang siap membela tanah air.

Hari pertama, mereka diajari berbaris. Ada yang tersenyum-senyum sendiri ketika mencoba menahan tawa melihat temannya yang tubuhnya bergoyang-goyang seperti angin meniup ranting saat berusaha tetap tegak lurus. Namun, tak seorang pun mempersoalkan kekacauan barisan itu. "Namanya juga latihan," begitu kata seorang pemuda dengan bangga.

Hari kedua, giliran mereka berlari di lapangan. Keringat mulai bercucuran, napas terasa berat bagi beberapa pemuda yang lebih terbiasa duduk di depan layar gawai daripada bergerak. Beberapa dari mereka bahkan sudah terengah-engah setelah putaran pertama, tapi mereka tetap memaksa diri untuk berlari, meski dengan kaki yang gemetaran. "Ini demi negara," ujar salah satu dari mereka dengan nada tersengal, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Saat permainan ini mencapai puncaknya, mereka diberikan replika senjata -terbuat dari kayu yang diukir kasar. Para pemuda itu segera beraksi seperti dalam film-film laga, meniru gerakan tentara yang sering mereka lihat di layar kaca. Mereka menjerit seakan-akan sedang berada di medan perang, berlari dan berguling-guling di tanah. Beberapa bahkan merayap sambil membayangkan diri mereka sebagai pahlawan perang.

Tetapi di tengah hiruk-pikuk euforia itu, seorang pemuda bernama Arga menyadari sesuatu yang ganjil. Di antara kebisingan tawa dan teriakan, dia melihat para veteran perang yang duduk di pinggir lapangan. Wajah mereka kusam, dengan sorot mata yang tampak menerawang jauh. Mereka hanya menyaksikan anak-anak muda itu, tanpa senyum dan tanpa tepuk tangan.

Arga berjalan mendekati seorang veteran yang duduk sendirian, mengenakan pakaian lusuh dan topi kumal. "Kakek, kenapa tidak ikut bersenang-senang? Ini kan untuk merayakan terpilihnya kepala pasukan baru," katanya, mencoba memulai percakapan.

Veteran tua itu hanya tersenyum tipis. "Nak, kalian bermain perang seperti itu, tapi perang yang sebenarnya tidak ada yang bisa dirayakan. Aku kehilangan banyak teman di medan perang, dan tidak ada satu pun dari kami yang merasa bangga harus mengangkat senjata."

Arga terdiam. Keceriaan yang tadi menyelimuti hatinya tiba-tiba terasa hampa. Dia melihat lagi ke arah lapangan, di mana teman-temannya masih asyik berteriak-teriak dan berpura-pura menjadi tentara. Di sudut lain, dia melihat beberapa anak kecil ikut menonton, seolah permainan ini adalah sebuah tontonan hiburan yang seru.

"Kalian mungkin menikmati bermain tentara," lanjut sang veteran, "tapi jangan lupa, ada orang-orang yang benar-benar pernah mempertaruhkan nyawanya demi menjaga negeri ini. Seragam yang kalian kenakan mungkin membuat kalian merasa seperti pahlawan, tetapi menjadi pahlawan bukanlah soal mengenakan seragam atau memiliki nama di dada. Itu soal keberanian, pengorbanan, dan luka yang tidak pernah sembuh."

Arga tertegun mendengar ucapan itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa permainan ini tidak lebih dari sekadar ilusi. Sebuah hiburan kosong yang sama sekali tidak menyentuh realitas getir di balik kata "perang." Bahkan seragam yang dikenakannya, dengan namanya yang tersemat, tiba-tiba terasa berat, seolah-olah penuh beban yang tak bisa dipikulnya.

Permainan itu terus berlanjut sampai hari terakhir, dan para pemuda tetap berseru-seru, berbaris, dan berpura-pura berperang. Namun bagi Arga, permainan itu telah berubah. Yang tersisa hanyalah ironi, karena ketika seragam itu dilepas dan permainan usai, mereka semua akan kembali ke kehidupan biasa, tanpa pernah benar-benar memahami makna dari seragam dan peran yang mereka kenakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun