Hari kedua, pelatihan semakin menantang. Para peserta diminta untuk meracik kopi dengan metode pour-over. Alih-alih aroma kopi segar yang semestinya menyegarkan ruangan, yang tercium hanyalah bau gosong dan asam. Seorang peserta bahkan dengan percaya diri menuangkan kopi tanpa memperhatikan takaran air dan biji kopi, membuat minuman yang dihasilkan lebih mirip air rendaman arang daripada kopi sejati.
Para instruktur yang melihat kegagalan demi kegagalan itu hanya bisa menggeleng-geleng. "Tidak ada satu pun dari mereka yang tampaknya memiliki keahlian dasar dalam meracik kopi," gumam salah satu instruktur kepada instruktur lainnya.
Pada hari ketiga, beberapa peserta tampak mulai frustasi. Beberapa bahkan memilih untuk duduk di sudut, membiarkan waktu berlalu sambil menyeruput kopi hasil racikan instruktur. Namun, di tengah-tengah kekacauan itu, ada satu hal yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan instruktur: "Mengapa banyak sekali wajah baru di pelatihan ini?"
Rupanya, desas-desus mulai terkuak. Banyak dari peserta pelatihan ternyata bukanlah pecinta kopi sejati atau memiliki keahlian meracik kopi. Mereka adalah orang-orang yang ditempatkan di Pasukan Kopi atas dasar balas budi, bukan kemampuan.Â
Ada yang merupakan anak dari sahabat lama Pak Surya, ada pula yang mendapat rekomendasi karena jasa orang tuanya dalam membantu membangun markas Pasukan Kopi. Mereka diundang bukan karena cinta mereka terhadap kopi, tetapi karena kebutuhan kepala pasukan untuk "menjaga hubungan baik."
Pak Surya sendiri menyadari ada yang salah dalam pelatihan kali ini. Ketika ia duduk di sudut ruangan pada malam terakhir, memandangi para peserta yang tampak bosan dan letih, ia merenungkan alasannya mengumpulkan mereka.Â
"Apa yang terjadi dengan semangat Pasukan Kopi yang dulu?" batinnya. Ia ingat masa-masa di mana hanya mereka yang benar-benar memiliki gairah terhadap kopi yang bisa berdiri di markas ini. Kini, markas itu dipenuhi dengan orang-orang yang tak tahu membedakan rasa kopi yang berkualitas dari sekedar air pahit.
Esok harinya, sebelum pelatihan resmi ditutup, Pak Surya berdiri di hadapan para peserta dengan ekspresi serius.Â
"Saya harus jujur kepada kalian semua," katanya. "Pasukan Kopi bukanlah tempat untuk mereka yang hanya ingin terlihat menyukai kopi atau ingin menyenangkan hati seseorang. Tempat ini untuk mereka yang memiliki kecintaan dan keterampilan meracik kopi yang sejati."
Beberapa peserta tampak terkejut, bahkan tersinggung. Namun, bagi mereka yang memiliki kerendahan hati, kata-kata Pak Surya terasa seperti tamparan yang membangunkan mereka dari tidur panjang.Â
"Kopi adalah seni, bukan alat untuk balas budi," lanjutnya. "Saya minta maaf kepada kalian yang berada di sini bukan karena pilihan sendiri. Anda bebas pergi jika merasa tempat ini tidak sesuai dengan hati nurani."