Pasukan Kopi dan Aroma Balas Budi
Kopi tak pernah berbohong, ia menyuguhkan apa adanya: pahit, manis, atau asam, sesuai dengan cara ia diperlakukan. Namun, bagaimana jika tangan-tangan yang meraciknya bukan tangan terampil, melainkan tangan yang tak pernah paham makna secangkir kopi? Ketika balas budi mengaburkan batas antara yang layak dan tidak, secangkir kopi pun bisa kehilangan rohnya, sekadar menjadi simbol basa-basi tanpa rasa yang sejati.
Di lembah hijau yang tenang itu, berdiri sebuah bangunan sederhana yang selalu dipenuhi aroma kopi. Bangunan itu dikenal sebagai markas Pasukan Kopi, tempat para ahli racik kopi berkumpul dan berdiskusi tentang seni meracik biji kopi menjadi secangkir hidangan yang penuh kenikmatan.Â
Namun, ada yang berbeda pada pembekalan kali ini. Selama tiga hari tiga malam, anggota Pasukan Kopi berkumpul untuk mengikuti pelatihan intensif tentang cara meracik kopi yang menggiurkan.
Sejak awal, suasana pembekalan terasa janggal. Banyak wajah-wajah baru hadir, beberapa di antaranya bahkan terlihat canggung memegang cangkir kopi. "Saya baru mulai suka kopi beberapa bulan lalu," kata seorang peserta dengan suara pelan ketika ditanya oleh instruktur.Â
Namun, semangat mereka untuk belajar terlihat begitu membara, atau setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh raut wajah mereka saat kepala Pasukan Kopi, Bapak Surya, memberikan sambutannya.
Pak Surya adalah sosok yang dihormati di kalangan para penikmat kopi. Ia terkenal karena mampu mengubah secangkir kopi biasa menjadi luar biasa dengan sentuhan sederhana.Â
Namun belakangan ini, ia lebih banyak menerima tamu dan undangan daripada menekuni hobinya meracik kopi. Ia sering kali tampak sibuk dengan pertemuan-pertemuan penting dan jarang lagi terlibat langsung dalam proses seleksi anggota Pasukan Kopi.
Hari pertama pembekalan dimulai dengan teori dasar mengenai jenis-jenis biji kopi, asal-usulnya, dan teknik penyeduhan yang benar. Para instruktur berbicara panjang lebar tentang perbedaan antara kopi robusta dan arabika, namun sebagian besar peserta tampak kebingungan.
 "Biji kopi itu semua rasanya sama, kan?" bisik seorang peserta kepada rekannya, yang juga hanya mengangguk setuju.
Hari kedua, pelatihan semakin menantang. Para peserta diminta untuk meracik kopi dengan metode pour-over. Alih-alih aroma kopi segar yang semestinya menyegarkan ruangan, yang tercium hanyalah bau gosong dan asam. Seorang peserta bahkan dengan percaya diri menuangkan kopi tanpa memperhatikan takaran air dan biji kopi, membuat minuman yang dihasilkan lebih mirip air rendaman arang daripada kopi sejati.
Para instruktur yang melihat kegagalan demi kegagalan itu hanya bisa menggeleng-geleng. "Tidak ada satu pun dari mereka yang tampaknya memiliki keahlian dasar dalam meracik kopi," gumam salah satu instruktur kepada instruktur lainnya.
Pada hari ketiga, beberapa peserta tampak mulai frustasi. Beberapa bahkan memilih untuk duduk di sudut, membiarkan waktu berlalu sambil menyeruput kopi hasil racikan instruktur. Namun, di tengah-tengah kekacauan itu, ada satu hal yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan instruktur: "Mengapa banyak sekali wajah baru di pelatihan ini?"
Rupanya, desas-desus mulai terkuak. Banyak dari peserta pelatihan ternyata bukanlah pecinta kopi sejati atau memiliki keahlian meracik kopi. Mereka adalah orang-orang yang ditempatkan di Pasukan Kopi atas dasar balas budi, bukan kemampuan.Â
Ada yang merupakan anak dari sahabat lama Pak Surya, ada pula yang mendapat rekomendasi karena jasa orang tuanya dalam membantu membangun markas Pasukan Kopi. Mereka diundang bukan karena cinta mereka terhadap kopi, tetapi karena kebutuhan kepala pasukan untuk "menjaga hubungan baik."
Pak Surya sendiri menyadari ada yang salah dalam pelatihan kali ini. Ketika ia duduk di sudut ruangan pada malam terakhir, memandangi para peserta yang tampak bosan dan letih, ia merenungkan alasannya mengumpulkan mereka.Â
"Apa yang terjadi dengan semangat Pasukan Kopi yang dulu?" batinnya. Ia ingat masa-masa di mana hanya mereka yang benar-benar memiliki gairah terhadap kopi yang bisa berdiri di markas ini. Kini, markas itu dipenuhi dengan orang-orang yang tak tahu membedakan rasa kopi yang berkualitas dari sekedar air pahit.
Esok harinya, sebelum pelatihan resmi ditutup, Pak Surya berdiri di hadapan para peserta dengan ekspresi serius.Â
"Saya harus jujur kepada kalian semua," katanya. "Pasukan Kopi bukanlah tempat untuk mereka yang hanya ingin terlihat menyukai kopi atau ingin menyenangkan hati seseorang. Tempat ini untuk mereka yang memiliki kecintaan dan keterampilan meracik kopi yang sejati."
Beberapa peserta tampak terkejut, bahkan tersinggung. Namun, bagi mereka yang memiliki kerendahan hati, kata-kata Pak Surya terasa seperti tamparan yang membangunkan mereka dari tidur panjang.Â
"Kopi adalah seni, bukan alat untuk balas budi," lanjutnya. "Saya minta maaf kepada kalian yang berada di sini bukan karena pilihan sendiri. Anda bebas pergi jika merasa tempat ini tidak sesuai dengan hati nurani."
Setelah itu, beberapa peserta memutuskan untuk meninggalkan pelatihan dengan kepala tertunduk. Mereka pergi bukan karena dendam, tetapi karena mereka tahu bahwa jalan hidup mereka bukanlah di dunia kopi.
Namun, bagi mereka yang memilih untuk tetap tinggal, mereka mulai melihat kopi dengan cara yang berbeda. Mereka yang sebelumnya hanya ikut-ikutan, kini menyadari bahwa untuk menghasilkan secangkir kopi yang sempurna, tidak hanya dibutuhkan biji kopi yang baik, tetapi juga jiwa yang tulus.
Di akhir hari, setelah suasana pembekalan kembali tenang, Pak Surya memandang secangkir kopi yang mengepul di hadapannya. Ia mengambil pena dan menulis sebuah puisi di selembar kertas, seolah ingin menyampaikan pesan terakhir kepada mereka yang benar-benar memahami esensi dari kopi.
Kopi dan Kejujuran
Kopi adalah cerita dari biji ke cangkir,
Bukan sekadar pahit, bukan sekadar getir.
Ia meresap dalam hati yang sungguh mencinta,
Bukan bagi mereka yang datang hanya demi nama.
Setiap tetesnya membawa ketulusan yang nyata,
Bukan balas budi atau hubungan yang hampa.
Kopi tak bisa dibeli oleh janji dan kata,
Ia hanya berbicara pada mereka yang setia.
Kopi akan terus jujur pada rasa,
Tak gentar meski disaring berkali-kali oleh masa.
Karena di balik setiap kepulan yang hadir,
Ada hati yang meracik, bukan sekadar tangan yang mahir.
Pak Surya menutup puisinya dengan senyum tipis, meletakkan kertas itu di meja, dan menyeruput kopi yang hangat. Di saat itu, ia tahu, esensi Pasukan Kopi telah kembali ke tempat yang seharusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H