Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pasukan Kopi dan Aroma Balas Budi

26 Oktober 2024   22:04 Diperbarui: 26 Oktober 2024   22:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Hari kedua, pelatihan semakin menantang. Para peserta diminta untuk meracik kopi dengan metode pour-over. Alih-alih aroma kopi segar yang semestinya menyegarkan ruangan, yang tercium hanyalah bau gosong dan asam. Seorang peserta bahkan dengan percaya diri menuangkan kopi tanpa memperhatikan takaran air dan biji kopi, membuat minuman yang dihasilkan lebih mirip air rendaman arang daripada kopi sejati.

Para instruktur yang melihat kegagalan demi kegagalan itu hanya bisa menggeleng-geleng. "Tidak ada satu pun dari mereka yang tampaknya memiliki keahlian dasar dalam meracik kopi," gumam salah satu instruktur kepada instruktur lainnya.

Pada hari ketiga, beberapa peserta tampak mulai frustasi. Beberapa bahkan memilih untuk duduk di sudut, membiarkan waktu berlalu sambil menyeruput kopi hasil racikan instruktur. Namun, di tengah-tengah kekacauan itu, ada satu hal yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan instruktur: "Mengapa banyak sekali wajah baru di pelatihan ini?"

Rupanya, desas-desus mulai terkuak. Banyak dari peserta pelatihan ternyata bukanlah pecinta kopi sejati atau memiliki keahlian meracik kopi. Mereka adalah orang-orang yang ditempatkan di Pasukan Kopi atas dasar balas budi, bukan kemampuan. 

Ada yang merupakan anak dari sahabat lama Pak Surya, ada pula yang mendapat rekomendasi karena jasa orang tuanya dalam membantu membangun markas Pasukan Kopi. Mereka diundang bukan karena cinta mereka terhadap kopi, tetapi karena kebutuhan kepala pasukan untuk "menjaga hubungan baik."

Pak Surya sendiri menyadari ada yang salah dalam pelatihan kali ini. Ketika ia duduk di sudut ruangan pada malam terakhir, memandangi para peserta yang tampak bosan dan letih, ia merenungkan alasannya mengumpulkan mereka. 

"Apa yang terjadi dengan semangat Pasukan Kopi yang dulu?" batinnya. Ia ingat masa-masa di mana hanya mereka yang benar-benar memiliki gairah terhadap kopi yang bisa berdiri di markas ini. Kini, markas itu dipenuhi dengan orang-orang yang tak tahu membedakan rasa kopi yang berkualitas dari sekedar air pahit.

Esok harinya, sebelum pelatihan resmi ditutup, Pak Surya berdiri di hadapan para peserta dengan ekspresi serius. 

"Saya harus jujur kepada kalian semua," katanya. "Pasukan Kopi bukanlah tempat untuk mereka yang hanya ingin terlihat menyukai kopi atau ingin menyenangkan hati seseorang. Tempat ini untuk mereka yang memiliki kecintaan dan keterampilan meracik kopi yang sejati."

Beberapa peserta tampak terkejut, bahkan tersinggung. Namun, bagi mereka yang memiliki kerendahan hati, kata-kata Pak Surya terasa seperti tamparan yang membangunkan mereka dari tidur panjang. 

"Kopi adalah seni, bukan alat untuk balas budi," lanjutnya. "Saya minta maaf kepada kalian yang berada di sini bukan karena pilihan sendiri. Anda bebas pergi jika merasa tempat ini tidak sesuai dengan hati nurani."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun