Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kabinet Tambun dan Pertanyaan di Warung Kopi

22 Oktober 2024   09:16 Diperbarui: 22 Oktober 2024   09:45 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabinet Tambun dan Pertanyaan di Warung Kopi

Suasana di warung kopi Pak Jo pagi itu tampak seperti biasa, ramai dengan obrolan para pelanggan setia. Mereka datang dari berbagai latar belakang -buruh, petani, pegawai kantor, hingga tukang ojek- mengisi pagi mereka dengan secangkir kopi panas dan diskusi seru tentang topik terkini. Namun, pagi ini ada sesuatu yang berbeda, obrolan itu penuh dengan keterkejutan dan pertanyaan tentang berita yang baru saja muncul: pengumuman penunjukan beberapa wakil menteri baru.

"Tambah lagi, ya?" ujar Sumarjo, seorang pensiunan pegawai negeri, sambil mengaduk kopinya perlahan. Matanya menyipit menatap halaman depan koran yang terhampar di atas meja, menampilkan foto seorang menteri baru bersama wakilnya yang baru diangkat. "Kayaknya nggak habis-habis urusan tambah-tambahan orang di kabinet ini."

"Betul, Pak Jo," sahut Harun, seorang pedagang keliling yang duduk di sudut ruangan. "Lha wong kemarin baru saja ada reshuffle, sekarang malah ditambah lagi wakilnya. Bikin kabinet tambah gemuk aja. Emang nggak cukup tuh para dirjen, sekjen, deputi, dan lainnya?"

Mereka yang ada di warung ikut tersenyum mendengar komentar Harun. Semua orang tahu betapa gemuknya kabinet saat ini, dengan segala lapisan birokrasi yang membentang dari menteri hingga pejabat eselon yang bertugas melaksanakan kebijakan. Namun, yang membuat mereka heran adalah alasan di balik penunjukan para wakil menteri ini. Apakah memang ada kebutuhan yang begitu mendesak, ataukah hanya sekadar bagi-bagi "jatah" untuk memuaskan kepentingan politik?

"Katanya sih, wakil menteri itu buat mempercepat kerja menteri, biar tugas-tugas bisa terbagi," jawab Parto, seorang pegawai kantor kecamatan yang ikut nimbrung. "Tapi aku kok ragu, ya. Kalau memang itu alasannya, kenapa nggak sekalian ditambah sekretaris khusus atau bahkan bendahara khusus kementerian? Tanggung amat, kalau mau bikin perubahan kan sekalian besar-besaran."

"Aku setuju, Mas Parto," sambut Jamilah, penjual kue keliling yang kebetulan lewat dan ikut mendengarkan obrolan. "Kalau alasannya cuma biar kerja lebih cepat, kenapa nggak perkuat aja pejabat eselon yang udah ada? Mereka kan sudah diangkat buat itu. Atau jangan-jangan, mereka nggak dipercaya?"

Pertanyaan Jamilah itu menggantung di udara, seperti membelah suasana warung yang semula ramai menjadi hening sesaat. Keraguan itu seperti menyuarakan kegelisahan yang dipendam banyak orang; apakah para pejabat di bawah menteri tidak cukup mampu untuk menangani tugas mereka, ataukah ada agenda lain yang tersembunyi di balik penunjukan ini?

(hasil olahan GemAIBot, dokpri)
(hasil olahan GemAIBot, dokpri)

"Kamu tahu sendiri, Mil," kata Pak Jo dengan suara berat. "Di negeri ini, sering kali kursi pemerintahan bukan cuma tentang tugas, tapi juga tentang politik. Kabinet gemuk, banyak partai terlibat, makin banyak pula yang harus dikasih 'jatah.' Jadi, jangan heran kalau ada yang bilang wakil menteri ini lebih buat akomodasi politik daripada kebutuhan administratif."

Harun yang sedari tadi mendengarkan dengan saksama, tiba-tiba menambahkan, "Bukan cuma wakil menteri, kalau dilihat-lihat, banyak menteri yang juga dipilih bukan karena keahlian atau pengalaman di bidang mereka. Zaken kabinet itu cuma omong kosong. Yang penting jatah terakomodasi."

Ucapan Harun itu membuat beberapa pelanggan yang duduk di dekatnya mengangguk-angguk setuju. Mereka tahu bahwa sejak lama, urusan penunjukan pejabat di negeri ini sering kali dilandasi oleh pertimbangan politik. Kebutuhan untuk memuaskan semua partai yang terlibat dalam koalisi besar memang kerap lebih diutamakan daripada mencari figur yang benar-benar kompeten.

"Kalau kayak gini terus, yang ada malah bikin birokrasi makin ribet, kerja jadi nggak efisien," kata Parto sambil menghela napas. "Alih-alih fokus pada peningkatan kemampuan pejabat yang ada, malah nambah lapisan lagi. Bukannya jadi lebih cepat, malah bisa-bisa makin lambat."

Pak Jo kemudian meletakkan korannya dan menatap teman-temannya di warung kopi. "Kalian tahu nggak, ada kabar kalau kabinet gemuk ini bisa jadi untuk jaga-jaga stabilitas politik juga. Dengan mengakomodasi banyak partai, kemungkinan konflik bisa ditekan. Tapi, pertanyaannya, apakah stabilitas itu harus dibayar dengan mengorbankan efisiensi kerja?"

Pertanyaan itu membuat mereka terdiam sejenak. Memang benar, dalam politik, kompromi adalah hal yang biasa. Kabinet yang mengakomodasi banyak pihak bisa memberikan dukungan yang lebih solid di parlemen, sehingga kebijakan pemerintah bisa berjalan lebih mulus. Namun, para pelanggan di warung kopi itu bertanya-tanya, apakah semua itu layak jika harga yang harus dibayar adalah birokrasi yang tidak efisien dan pemborosan anggaran negara.

Di tengah keramaian obrolan itu, muncul seseorang yang tampak lebih muda, mahasiswa semester akhir bernama Tio. Dengan gaya bicara yang lugas, dia menyuarakan pendapatnya, "Menurutku, semua ini adalah bentuk ironi. Katanya pemerintah mau membuat gebrakan dengan kabinet yang profesional dan efisien, tapi kenyataannya malah terjebak dalam permainan akomodasi politik. Kalau begitu, sekalian saja tunjuk bendahara dan sekretaris menteri biar lebih ramai."

Candaan Tio itu langsung disambut tawa oleh para pelanggan lain. Meski terasa sarkastik, ada benarnya. Jika alasan penunjukan wakil menteri untuk memperkuat struktur administrasi, mengapa tidak sekalian membuat posisi-posisi lain? Namun, apakah penambahan posisi semacam itu benar-benar akan membuat birokrasi lebih efisien, atau justru semakin menambah masalah?

Seiring dengan habisnya cangkir-cangkir kopi di meja, satu kesimpulan perlahan terbentuk di benak mereka. Meskipun argumen bahwa kabinet gemuk dapat menekan potensi konflik politik, mereka tidak yakin jika pendekatan semacam itu benar-benar demi kepentingan rakyat. Bagaimana pun juga, yang mereka butuhkan adalah pemerintahan yang benar-benar bekerja, bukan sekadar membagikan kursi jabatan untuk memenuhi tuntutan politik.

Obrolan di warung kopi Pak Jo pagi itu mencerminkan kekecewaan dan kebingungan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang terkesan tidak konsisten. Mereka hanya berharap bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemimpin di atas sana benar-benar untuk kesejahteraan bersama, bukan sekadar untuk mengamankan jatah politik. Di tengah hiruk pikuk kabinet tambun, rakyat kecil terus bertanya, "Apakah ini benar-benar yang terbaik untuk negeri ini?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun