Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Atas Rel, di Antara Harapan

21 Oktober 2024   22:35 Diperbarui: 22 Oktober 2024   01:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Di Atas Rel, Melintas Harapan


Angin berembus lembut di Stasiun Gambir sore itu, mengiringi langkah-langkah para penumpang yang tergesa. Kereta Senja Pertama baru saja tiba, menurunkan mereka yang berwajah cerah, seolah perjalanan di atas rel kini adalah sebuah tamasya, bukan lagi sekadar perjalanan pulang atau pergi. Di sudut peron, seorang pemuda bernama Ardi berdiri, matanya menyapu rangkaian gerbong yang terlihat mewah. Ia ingat betul masa kecilnya, ketika naik kereta api adalah sebuah perjuangan.

"Rel-rel panjang membentang,
Mengurai cerita dan kenangan,
Di antara gemuruh roda bergulir,
Ada harapan yang tak ingin terlindas."


Dulu, ia bersama ayahnya sering naik kereta ekonomi yang ramai oleh pengamen dan penjual jajanan. Setiap kali mereka berangkat ke kampung nenek, ia selalu duduk di dekat jendela, berharap pemandangan di luar bisa mengalihkan perhatiannya dari panas dan kebisingan di dalam gerbong. Tapi hari ini, suasana itu terasa jauh sekali. Kereta-kereta kini lebih tenang, nyaman, dan bersih, bahkan gerbong ekonomi telah berubah wajah.

*

Kereta Senja Pertama berhenti lebih lama dari biasanya. Ardi naik dan duduk di salah satu kursi dekat jendela besar yang memungkinkan pemandangan langsung ke luar. Kilauan senja memantul di kaca, dan suara roda di rel terasa lebih lembut. Kereta itu memulai perjalanannya menuju Yogyakarta, dan Ardi meresapi setiap detik pergerakannya.

"Panorama di balik kaca,
Mengundang sunyi dalam riuh,
Di balik gerbong-gerbong yang merajut mimpi,
Ada diam yang perlahan menyeruak."


Ardi teringat bagaimana perubahan besar di Kereta Api Indonesia dimulai. Ignasius Jonan yang memulai langkah berani, melarang pengamen dan pedagang, merenovasi stasiun, hingga membangun citra baru KAI sebagai moda transportasi yang modern dan nyaman. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam yang melintas dalam pikirannya. Didiek Hartantyo, penerus Jonan, juga melakukan banyak terobosan yang membuat KAI semakin maju. Namun, di balik semua perubahan fisik itu, Ardi merasa masih ada satu hal yang tidak berubah, manusia.

Di gerbong itu, meskipun modern dan penuh fasilitas, ada saja penumpang yang sembarangan membuang sampah, berbicara dengan suara keras, atau tidak mematuhi aturan untuk menjaga kebersihan. Sejenak, Ardi termenung. Sehebat apa pun kemajuan yang dilakukan KAI, semuanya bisa rusak bila para penumpangnya tidak berubah.

**

Saat kereta berhenti di Stasiun Cirebon, seorang petugas kebersihan naik, mulai membersihkan lantai gerbong. Ardi memperhatikan gerakannya yang lincah dan wajah yang tetap tersenyum meski beban pekerjaannya tidak ringan. Petugas itu, yang tampak seusia dengannya, seolah mengerti apa yang ada di benak Ardi ketika mata mereka bertemu. Ia memberikan anggukan singkat dan melanjutkan pekerjaannya.

"Di setiap jejak kaki yang tertinggal,
Ada tenaga yang tak terlihat,
Mereka menyapu debu dan kenangan,
Merawat harapan di atas rel."


Saat kereta kembali melaju, Ardi merasa ada yang menyentuh nuraninya. Ia mengambil secarik kertas dan mulai menuliskan beberapa kata. Di akhir perjalanannya menuju Yogyakarta, ia sudah selesai menulis sebuah puisi yang ingin ia bacakan saat tiba di sana.

***

(hasil olahan GemAIBot, dokpri)
(hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Di Stasiun Tugu Yogyakarta, Ardi turun dan berdiri di peron, membaca puisinya dengan lantang meski orang-orang mungkin menganggapnya aneh.

"Kemajuan adalah gerbong yang terus bergerak,
Tapi roda-rodanya hanya bisa berjalan mulus,
Bila semua penumpang paham aturan,
Dan rel adalah disiplin yang harus diikuti."


Beberapa orang yang mendengarnya berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkah mereka. Namun, di antara yang berlalu, seorang lelaki tua dengan tongkat, yang mendengar bait terakhir Ardi, tersenyum dan mendekatinya.

"Kamu benar, Nak," katanya dengan suara lirih. "Sehebat apa pun teknologi, percuma kalau manusianya tidak ikut berbenah."

Ardi mengangguk, merasa bahwa pesan yang ingin ia sampaikan telah diterima dengan baik. Di tengah segala kemajuan yang dicapai, kesadaran untuk memulai perubahan dari diri sendiri adalah kunci sebenarnya.

****


Kereta Senja Pertama kembali melaju ke arah timur, meninggalkan Stasiun Tugu. Namun, Ardi tahu bahwa perjalanan untuk membangun kesadaran bukan hanya tentang modernisasi gerbong dan stasiun, tetapi juga tentang bagaimana setiap orang mampu menjaga diri mereka sendiri. Segala kemajuan yang tercipta hanyalah fatamorgana, jika para pengguna tidak memahami pentingnya disiplin dan ketertiban.

"Di atas rel panjang yang membentang,
Kemajuan sejati bukan hanya soal roda bergulir,
Namun ada di hati manusia yang ikut berubah,
Mengiringi setiap perjalanan dengan tertib dan disiplin."


Di atas rel, di antara harapan, kesadaran itu harus selalu ada. Sebuah perjalanan yang bukan hanya milik KAI, tetapi juga milik setiap kita yang berada di atas rel yang sama.

Peradaban menjejak lestari pada modatransportasi yang terus berubah. Meski hari berganti seribu kali, jika manusia tidak berubah, maka hari-hari itu tiada makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun