Di Stasiun Tugu Yogyakarta, Ardi turun dan berdiri di peron, membaca puisinya dengan lantang meski orang-orang mungkin menganggapnya aneh.
"Kemajuan adalah gerbong yang terus bergerak,
Tapi roda-rodanya hanya bisa berjalan mulus,
Bila semua penumpang paham aturan,
Dan rel adalah disiplin yang harus diikuti."
Beberapa orang yang mendengarnya berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkah mereka. Namun, di antara yang berlalu, seorang lelaki tua dengan tongkat, yang mendengar bait terakhir Ardi, tersenyum dan mendekatinya.
"Kamu benar, Nak," katanya dengan suara lirih. "Sehebat apa pun teknologi, percuma kalau manusianya tidak ikut berbenah."
Ardi mengangguk, merasa bahwa pesan yang ingin ia sampaikan telah diterima dengan baik. Di tengah segala kemajuan yang dicapai, kesadaran untuk memulai perubahan dari diri sendiri adalah kunci sebenarnya.
****
Kereta Senja Pertama kembali melaju ke arah timur, meninggalkan Stasiun Tugu. Namun, Ardi tahu bahwa perjalanan untuk membangun kesadaran bukan hanya tentang modernisasi gerbong dan stasiun, tetapi juga tentang bagaimana setiap orang mampu menjaga diri mereka sendiri. Segala kemajuan yang tercipta hanyalah fatamorgana, jika para pengguna tidak memahami pentingnya disiplin dan ketertiban.
"Di atas rel panjang yang membentang,
Kemajuan sejati bukan hanya soal roda bergulir,
Namun ada di hati manusia yang ikut berubah,
Mengiringi setiap perjalanan dengan tertib dan disiplin."
Di atas rel, di antara harapan, kesadaran itu harus selalu ada. Sebuah perjalanan yang bukan hanya milik KAI, tetapi juga milik setiap kita yang berada di atas rel yang sama.
Peradaban menjejak lestari pada modatransportasi yang terus berubah. Meski hari berganti seribu kali, jika manusia tidak berubah, maka hari-hari itu tiada makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H