Jebakan di Gudang Roti
"Saat kekuasaan menjadi senjata untuk menekan yang lemah, bertahan bukan lagi soal pilihan, melainkan strategi. Tina, seorang karyawan yang tak punya banyak pilihan selain bekerja untuk bos yang manipulatif, menyadari bahwa permainan ini bukan soal menang atau kalah, melainkan bagaimana menjebak sang pemangsa dengan umpannya sendiri. Di tengah tekanan janji kenaikan gaji dan ancaman pemecatan, ia merencanakan satu langkah berani: membalikkan keadaan dan memperdaya si penguasa dengan senjata rahasia yang selama ini diam-diam ia persiapkan."
Tina, seorang wanita berusia tiga puluhan, sudah empat tahun bekerja di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang pemasaran. Ia tahu betul betapa sulitnya mencari pekerjaan, terutama dengan tanggungan keluarga yang menunggunya setiap bulan. Gaji dari kantor adalah satu-satunya sumber penghidupan bagi Tina. Karena itulah, meski ia tahu ada yang tidak beres di perusahaan itu, ia tetap bertahan.
Bosnya, Pak Tinus, terkenal dengan sifatnya yang keras dan licik. Dia sering memanfaatkan posisi dan kekuasaannya untuk menekan karyawan. Bagi mereka yang menurut, Pak Tinus menjanjikan iming-iming kenaikan gaji atau jabatan. Tapi bagi mereka yang menolak, perlakuannya menjadi lebih kasar, bahkan sampai mengancam akan memecat mereka. Tina pun sudah merasakan semua itu. Dari sindiran yang menyakitkan, perintah yang tidak masuk akal, sampai sentuhan yang membuatnya tidak nyaman.
Namun, Tina bukanlah wanita yang mudah menyerah. Ketika Pak Tinus mulai mengarahkannya menjadi korban baru, Tina merencanakan sebuah cara untuk menjebak bosnya itu. Selama beberapa minggu, ia berusaha mengumpulkan bukti tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia mulai membawa ponsel dengan aplikasi perekam suara yang selalu aktif saat berada di ruangannya. Setiap percakapan dan ancaman halus dari Pak Tinus, ia simpan baik-baik.
Suatu hari, setelah semua persiapan dirasa cukup matang, Tina dipanggil ke ruangan Pak Tinus. Ia merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi, dan memang benar.
"Tina, saya lihat kinerja kamu meningkat pesat akhir-akhir ini," ucap Pak Tinus dengan senyum sinis. "Bagaimana kalau kita bicarakan soal kenaikan gaji dan pangkat?"
Tina berpura-pura antusias. "Wah, tentu saja, Pak. Saya pasti sangat senang mendengarnya."
Pak Tinus tersenyum lebar. "Tapi, tentu saja, ada beberapa hal yang perlu kamu lakukan dulu," katanya dengan nada lebih rendah. "Kamu tahu kan, perusahaan ini butuh orang yang fleksibel, yang tahu cara menyenangkan atasannya."
Kata-kata itu sudah cukup untuk membuat Tina merasa muak, tetapi ia tetap mempertahankan senyum di wajahnya. "Maksud Bapak, apa saya harus bekerja lebih keras lagi?"
Pak Tinus tertawa kecil. "Ya, semacam itu," katanya sambil mendekat. "Yang penting, kamu menurut. Kamu paham, kan?"
Itu adalah momen yang Tina tunggu-tunggu. Ia telah memutuskan untuk mengaktifkan kamera ponsel sebelum memasuki ruangan tadi, dan kini semuanya terekam dengan jelas. Tina berusaha untuk terlihat bimbang, memberikan ekspresi seolah mempertimbangkan tawaran tersebut. "Saya akan coba pikirkan, Pak," katanya dengan suara pelan sebelum beranjak keluar.
Pak Tinus tampak puas. "Bagus, Tina. Saya tahu kamu anak pintar."
Hari demi hari berlalu, dan Tina tetap berusaha berlagak seperti biasa. Ia melanjutkan pekerjaan tanpa menunjukkan tanda-tanda kecurigaan. Ia terus merekam percakapan-percakapan dengan Pak Tinus, mengumpulkan bukti-bukti pelecehan verbal dan tekanan psikologis. Terkadang, Pak Tinus sengaja menyentuh pundaknya dengan dalih memberi semangat atau mendekat terlalu dekat ketika berbicara. Semua itu direkam Tina dengan hati-hati.
Rencana Tina akhirnya mencapai puncaknya ketika Pak Tinus mengadakan rapat kecil di ruangannya bersama tiga karyawan lainnya. Saat itu, dia mulai mengkritik hasil kerja Tina dengan cara yang sangat merendahkan, menghinanya di depan yang lain. Tina tahu, saat itu adalah waktu yang tepat untuk melancarkan jebakannya.
Sambil tetap tenang, ia menjawab, "Saya selalu berusaha melakukan yang terbaik, Pak. Tapi kalau Bapak merasa ada yang kurang, mungkin kita bisa diskusikan secara pribadi seperti biasanya." Ia mengucapkannya dengan nada biasa, tapi dengan pandangan mata yang tajam.
Pak Tinus menangkap isyarat itu dan langsung menyuruh yang lain keluar, meninggalkan dia dan Tina berdua di ruangan. "Jadi kamu sudah siap?" tanyanya dengan senyum lebar. "Ingat, kalau kamu main-main, pekerjaanmu di sini akan berakhir."
Tina menatapnya tanpa takut. "Saya tidak bermain-main, Pak. Tapi Bapak yang bermain dengan kebijakan perusahaan."
Pak Tinus terkekeh, tetapi nadanya berubah ketika Tina mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman dari percakapan sebelumnya. Wajah Pak Tinus memucat seketika.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya sambil berusaha merebut ponsel Tina.
Namun, Tina dengan cepat menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. "Saya punya semua bukti tentang apa yang Bapak lakukan selama ini. Ancaman, pelecehan, semua terekam dengan baik. Dan saya sudah mempersiapkan surat pengunduran diri yang bisa saya kirim kapan saja. Tapi sebelum itu, saya akan melaporkan semua ini kepada bagian HRD dan kalau perlu, kepada polisi."
Pak Tinus tampak kebingungan dan mulai panik. "Tina, kita bisa bicarakan ini. Jangan gegabah. Saya bisa naikan gaji kamu sekarang juga."
Namun, Tina tidak mundur. "Saya tidak butuh kenaikan gaji dari Anda, Pak. Saya hanya ingin memastikan Anda tidak melakukan ini lagi kepada orang lain." Dengan nada dingin, ia menambahkan, "Saya sudah menghubungi beberapa media yang bersedia mempublikasikan masalah ini. Anda tahu dampaknya akan sangat besar, bukan?"
Sadar tidak ada jalan keluar, Pak Tinus akhirnya tunduk. Dia memohon kepada Tina agar kasus ini tidak dilanjutkan, bahkan menawarkan untuk mengundurkan diri secara diam-diam agar masalah tidak sampai ke publik.
"Kalau begitu, siapkan surat pengunduran diri Anda sekarang juga," kata Tina tegas. "Saya tidak akan mengekspos bukti-bukti ini kalau Anda segera keluar dari perusahaan dan tidak pernah mencoba menghubungi saya atau karyawan lain lagi."
Dengan terpaksa, Pak Tinus menyerah. Beberapa hari kemudian, surat pengunduran dirinya pun diumumkan. Banyak karyawan yang bertanya-tanya mengapa sang bos tiba-tiba mengundurkan diri, tetapi Tina hanya tersenyum tipis. Dia tahu, jebakan ala tikus mati di gudang roti itu berhasil. Dengan diam-diam dan cerdik, ia telah membalikkan keadaan dan membuat sang perundung terperangkap oleh ulahnya sendiri.
Tina memang kehilangan pekerjaannya karena memilih mundur setelah semua selesai, tapi ia mendapatkan kebebasan dan ketenangan. Ia keluar dari perusahaan dengan kepala tegak, membawa keberanian dan kebanggaan atas apa yang telah diperjuangkannya.
Di tempat kerja selanjutnya, ia berharap bisa menjadi lebih dari sekadar bawahan yang pasrah. Tina ingin memastikan bahwa tidak ada lagi bos nakal yang merasa aman dengan tindakan tercelanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H