"Semuanya harus seimbang," ujar salah satu menteri senior dalam rapat itu, "agar semua merasa puas."
Pak Amit hanya bisa mendesah. Ia tahu, 'semua merasa puas' adalah cara halus untuk menyatakan bahwa kabinet ini bukanlah mesin efisiensi, melainkan teater pembagian kekuasaan. Harapan besar akan percepatan perubahan semakin lama semakin terlihat seperti sebuah fatamorgana.
Pada suatu malam, ketika ia sedang duduk di ruang kerjanya yang sunyi, datanglah sebuah pesan dari Presiden. "Rapat darurat malam ini," begitu tulisannya. Tanpa pikir panjang, Pak Amit bergegas menuju ruang rapat utama, di sana ia menemukan sebagian besar anggota kabinet sudah berkumpul dengan wajah cemas.
Presiden membuka rapat dengan nada serius. "Ada laporan bahwa laju inflasi terus meningkat dan daya beli masyarakat merosot tajam," katanya. "Saya ingin solusi dari kalian semua. Kita tidak boleh lambat!"
Namun, apa yang terjadi berikutnya adalah hal yang mengejutkan. Diskusi yang semula diarahkan untuk mencari solusi cepat justru berubah menjadi saling menyalahkan antar kementerian. Menteri Pangan menyalahkan kebijakan ekspor yang terlalu longgar, Menteri Perdagangan mengeluhkan ketidakselarasan dengan Kementerian Pertanian, dan seterusnya. Rapat darurat yang seharusnya menjadi titik balik untuk bergerak maju, malah berujung pada adu argumentasi yang tak kunjung usai.
Pak Amit merasa jengah dan ingin meninggalkan ruangan itu. Namun, sebelum ia sempat berdiri, Presiden tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri rapat lebih awal. "Kita akan lanjutkan besok pagi," ujarnya dengan wajah lelah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan para menteri yang terdiam.
Malam itu, Pak Amit berjalan pulang dengan perasaan hampa. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kabinet ini, yang semula dipuja sebagai mesin percepatan kemajuan, hanya menjadi sebuah raksasa yang lamban, penuh dengan kepentingan yang saling menjerat. Mesin besar ini tak mampu berlari karena bebannya sendiri, dan harapan akan Indonesia yang lebih maju perlahan menguap seiring berjalannya waktu.
Keesokan harinya, ia datang terlambat ke rapat lanjutan. Namun, yang mengejutkan, ruangan itu kosong. Ternyata, sebagian besar menteri memutuskan untuk mengadakan rapat kecil-kecilan di tempat lain, membahas agenda pribadi mereka masing-masing. Pak Amit tersenyum pahit. "Inilah akhirnya," pikirnya, "Ketika kabinet menjadi terlalu besar, semuanya mulai berjalan sendiri-sendiri."
***
Dalam diam, Pak Amit menyadari bahwa harapan akan perubahan besar itu telah terlalu berlebihan. Ketika sebuah pemerintahan dipenuhi terlalu banyak kepentingan dan aktor yang terlibat, maka idealisme sering kali tenggelam dalam lautan kompromi. Sungguh mesin yang terlalu tambun memang susah untuk digerakkan oleh mulut yang banyak cakap, melainkan oleh tangan yang gesit bekerja dan kaki yang lincah bergerak dari rakyat ke meja program, bukan sebaliknya.
Tertekan oleh situasi yang tak disangka, Pak Amit menjadi menteri pertama yang dengan sukarela mengundurkan diri karena merasa tidak mampu bekerja dalam gerak lamban mesin yang tambun itu.