Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Raksasa Yang Lamban

18 Oktober 2024   19:33 Diperbarui: 18 Oktober 2024   19:37 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

RAKSASA YANG LAMBAN 

Sejak diumumkan, rencana pembentukan "Kabinet 108" telah mengundang berbagai opini dari masyarakat, mulai dari kritik pedas hingga harapan besar akan percepatan perubahan. Namun, siapa sangka bahwa mimpi untuk menciptakan mesin pemerintahan yang ramping dan efektif justru bergulir menjadi sebuah Raksasa.  

**

Di sebuah ruangan besar di Istana, para anggota kabinet baru tampak sibuk menyesuaikan diri. Setiap orang sibuk dengan lembaran program kerja dan daftar tugas masing-masing. Mereka yang berdiri di barisan depan adalah para menteri senior dan menteri koordinator (menko), sementara di belakang, para pejabat baru tampak kebingungan memegang map dan dokumen yang tebalnya seperti buku ensiklopedi.

Hari itu adalah hari pertama seluruh anggota Kabinet 108 berkumpul setelah pelantikan. Presiden sendiri yang menyampaikan pidato, berbicara dengan suara lantang tentang "mesin birokrasi modern" dan "visi besar menuju Indonesia maju." Sorak-sorai dan tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan, tetapi di sudut belakang, Menteri Urusan Rakyat Kecil, Pak Amit, duduk dengan ekspresi datar. Ia merenungkan ironi yang terasa dalam kata-kata yang baru saja diucapkan.

"Sungguh besar mesin ini," gumamnya pelan, "tapi semakin besar, semakin sulit untuk bergerak cepat."

(hasil olahan GemAIBot, dokpri)
(hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Pak Amit tahu betul bagaimana situasi kabinet ini. Penambahan lebih dari 60 pos baru bukan hanya soal pembagian tugas dan efisiensi, tetapi juga akibat dari desakan berbagai kelompok yang merasa berhak mendapatkan posisi setelah kemenangan pemilu. Meski dibungkus dengan retorika zaken kabinet, kenyataannya banyak pos baru yang terisi oleh orang-orang yang 'membantu memenangkan' sang presiden dan wakilnya.

Satu bulan setelah pelantikan, realitas mulai menampakkan wajahnya. Meskipun rapat-rapat rutin dan diskusi kebijakan selalu terdengar penuh semangat, di belakang layar, gesekan kepentingan mulai muncul. Program-program unggulan seperti reforma agraria dan peningkatan daya saing industri terhambat oleh tarik-menarik antara kementerian yang bersikeras mempertahankan proyek-proyek mereka sendiri. Tak jarang, rapat kabinet yang seharusnya berjalan selama satu atau dua jam menjadi molor hingga lima jam hanya untuk menyelesaikan satu agenda.

Di sisi lain, beberapa anggota kabinet baru yang dipilih berdasarkan latar belakang profesional mereka ternyata tidak mampu beradaptasi dengan cepat. Dunia politik yang penuh intrik dan negosiasi jauh berbeda dari lingkungan profesional tempat mereka berasal. Salah satunya adalah Menteri Ekonomi Kreatif, seorang pengusaha sukses yang terbiasa mengambil keputusan cepat tanpa melalui birokrasi berbelit-belit. Kini, ia harus belajar bahwa sebuah keputusan kecil saja bisa tertahan di meja rapat selama berminggu-minggu karena banyaknya pihak yang terlibat.

Setelah enam bulan berlalu, Pak Amit mulai merasakan kelelahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kabinet yang gemuk ini tidak hanya bergerak lambat, tetapi juga tersandera oleh berbagai kepentingan. Ia ingat sebuah rapat mengenai alokasi anggaran pembangunan desa yang seharusnya menjadi prioritas pemerintahan. Namun, anggaran tersebut tertahan karena beberapa kementerian lain ingin memasukkan program-program mereka sebagai syarat untuk menyetujui pengalokasian dana. Akibatnya, pembangunan yang diharapkan bisa segera dilaksanakan terpaksa tertunda.

"Semuanya harus seimbang," ujar salah satu menteri senior dalam rapat itu, "agar semua merasa puas."

Pak Amit hanya bisa mendesah. Ia tahu, 'semua merasa puas' adalah cara halus untuk menyatakan bahwa kabinet ini bukanlah mesin efisiensi, melainkan teater pembagian kekuasaan. Harapan besar akan percepatan perubahan semakin lama semakin terlihat seperti sebuah fatamorgana.

Pada suatu malam, ketika ia sedang duduk di ruang kerjanya yang sunyi, datanglah sebuah pesan dari Presiden. "Rapat darurat malam ini," begitu tulisannya. Tanpa pikir panjang, Pak Amit bergegas menuju ruang rapat utama, di sana ia menemukan sebagian besar anggota kabinet sudah berkumpul dengan wajah cemas.

Presiden membuka rapat dengan nada serius. "Ada laporan bahwa laju inflasi terus meningkat dan daya beli masyarakat merosot tajam," katanya. "Saya ingin solusi dari kalian semua. Kita tidak boleh lambat!"

Namun, apa yang terjadi berikutnya adalah hal yang mengejutkan. Diskusi yang semula diarahkan untuk mencari solusi cepat justru berubah menjadi saling menyalahkan antar kementerian. Menteri Pangan menyalahkan kebijakan ekspor yang terlalu longgar, Menteri Perdagangan mengeluhkan ketidakselarasan dengan Kementerian Pertanian, dan seterusnya. Rapat darurat yang seharusnya menjadi titik balik untuk bergerak maju, malah berujung pada adu argumentasi yang tak kunjung usai.

Pak Amit merasa jengah dan ingin meninggalkan ruangan itu. Namun, sebelum ia sempat berdiri, Presiden tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri rapat lebih awal. "Kita akan lanjutkan besok pagi," ujarnya dengan wajah lelah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan para menteri yang terdiam.

Malam itu, Pak Amit berjalan pulang dengan perasaan hampa. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa kabinet ini, yang semula dipuja sebagai mesin percepatan kemajuan, hanya menjadi sebuah raksasa yang lamban, penuh dengan kepentingan yang saling menjerat. Mesin besar ini tak mampu berlari karena bebannya sendiri, dan harapan akan Indonesia yang lebih maju perlahan menguap seiring berjalannya waktu.

Keesokan harinya, ia datang terlambat ke rapat lanjutan. Namun, yang mengejutkan, ruangan itu kosong. Ternyata, sebagian besar menteri memutuskan untuk mengadakan rapat kecil-kecilan di tempat lain, membahas agenda pribadi mereka masing-masing. Pak Amit tersenyum pahit. "Inilah akhirnya," pikirnya, "Ketika kabinet menjadi terlalu besar, semuanya mulai berjalan sendiri-sendiri."

***

Dalam diam, Pak Amit menyadari bahwa harapan akan perubahan besar itu telah terlalu berlebihan. Ketika sebuah pemerintahan dipenuhi terlalu banyak kepentingan dan aktor yang terlibat, maka idealisme sering kali tenggelam dalam lautan kompromi. Sungguh mesin yang terlalu tambun memang susah untuk digerakkan oleh mulut yang banyak cakap, melainkan oleh tangan yang gesit bekerja dan kaki yang lincah bergerak dari rakyat ke meja program, bukan sebaliknya.

Tertekan oleh situasi yang tak disangka, Pak Amit menjadi menteri pertama yang dengan sukarela mengundurkan diri karena merasa tidak mampu bekerja dalam gerak lamban mesin yang tambun itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun