Obesitas Politik atau Mesin Percepatan Kemajuan?
Pergantian pemerintahan dari Pasangan Joko Widodo dan Ma'aruf Amin kepada Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tinggal menghitung hari. Yang menarik, isu yang menyertainya adalah tentang kabinet yang akan diisi oleh 108 orang (nasional.tempo.co; astroawani.com). Apakah kabinet ini mengakomodasi banyaknya pakar dan orang pintar di tanah air atau ada geliat bagi-bagi "sembako demokrasi" di kalangan pendukung. Lalu di mana gembar-gembor soal zaken kabinet (yang berisi segelintir kecil professional) sehingga mereka lebih gesit melakukan percepatan transisi dari termos lama dan gantinya dengan termos baru?
Pembentukan kabinet baru selalu menjadi sorotan tajam dalam dunia politik Indonesia, terutama ketika jumlah anggota kabinet mencapai angka yang mengejutkan, sebuah obesitas politik yang menyimpan penyakit darurat yang kambuh kapan saja.
Konon, kabinet Prabowo-Gibran direncanakan melibatkan 108 anggota, sebuah angka yang tak hanya membesar, tetapi juga menggelikan. Bukannya kalau terlalu besar akan merepotkan gerakan karena tidak bisa lincah. Postur yang obesitas justru menghambar percepatan. Bagaimana mau cepat kalau beratnya saja bisa merusak mesin timbangan.Â
Mungkin konsepnya begini: "Kalau postur kabinet bisa dibuat gemuk, mengapa harus dibiarkan kurus?" hampir mirip dengan konsep nyeleneh tentang pelayanan public. "Kalau bisa diperumit, mengapa harus dipermudah? Kalau bisa melewati banyak laci mejanya, mengapa harus dibuat ringkas?
Postur kabinet yang demikian gemuk menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar langkah untuk mempercepat visi dan misi presiden dalam mewujudkan Indonesia yang lebih maju, atau hanya sekadar bagi-bagi kursi demi memuaskan hasrat politik para pendukung?
Retorika zaken kabinet yang sering digaungkan, yaitu kabinet yang diisi oleh para profesional dan ahli di bidangnya, terdengar meyakinkan. Namun, kenyataannya, banyak pihak yang meragukan apakah jumlah yang sedemikian besar ini benar-benar dapat mendukung semangat tersebut.
Bagaimana mungkin pemerintahan yang efektif dihasilkan dari struktur birokrasi yang begitu besar dan berpotensi lamban? Alih-alih menjadi pemerintahan yang tangkas dan responsif, kabinet dengan lebih dari seratus anggota justru dapat menciptakan kebingungan dan kebijakan yang tumpang tindih.
Kabinet yang menterinya hanya ada satu wakilnya saja ruwetnya minta ampun, karena saling tumpeng tindih pendapat dan kebijakan yang ada. Antara menteri sering kali tidak ada koordinasi yang baik, sehingga pesan yang sampai ke masyarkat pun simpang siur.
Politik Bagi Kue Kekuasaan
Bukan rahasia lagi, politik Indonesia kerap diwarnai praktik bagi-bagi kekuasaan. Kabinet yang gemuk bisa saja menjadi arena balas jasa politik, di mana kursi diberikan kepada mereka yang telah "berdarah-darah" memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Jika hal ini benar terjadi, maka masyarakat patut khawatir bahwa posisi-posisi strategis di pemerintahan akan diisi oleh orang-orang yang lebih mementingkan loyalitas politik daripada kompetensi dan integritas.
Lebih jauh, adanya kabinet yang terlalu besar juga membawa risiko anggaran yang membengkak. Gaji, tunjangan, dan fasilitas bagi para pejabat tentu bukan biaya yang kecil. Padahal, rakyat saat ini membutuhkan alokasi anggaran yang lebih tepat sasaran untuk memperbaiki sektor-sektor krusial seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Lantas, apakah kabinet dengan formasi besar ini benar-benar memberikan nilai tambah bagi pembangunan, atau justru menambah beban negara?
Tidak bisa dimungkiri bahwa postur kabinet yang besar memungkinkan presiden untuk mendelegasikan banyak tugas kepada menteri-menterinya. Namun, apakah ini berarti presiden dapat "lebih leluasa untuk tidur"? Seorang pemimpin sejati tidak akan menyerahkan begitu saja nasib bangsa kepada anak buahnya tanpa pengawasan ketat. Kepemimpinan yang efektif membutuhkan keterlibatan aktif dan pengendalian langsung, terutama dalam pengambilan keputusan strategis.
Lebih dari itu, jika benar kabinet ini adalah bentuk bagi-bagi kursi, maka nasib rakyat hanya akan menjadi korban dari permainan politik elit. Padahal, semangat awal dari zaken kabinet adalah memastikan bahwa posisi-posisi penting diisi oleh individu yang memiliki visi dan dedikasi tinggi untuk kemajuan negara. Menumpukkan banyak orang dalam struktur pemerintahan bisa jadi justru akan memperpanjang rantai birokrasi dan memperlambat laju reformasi yang dibutuhkan.
Apakah Kita Siap Membayar Harga dari Kabinet "Gemuk"?
Jika ini benar terjadi, publik harus bertanya: apakah kabinet 108 anggota ini adalah solusi atau justru masalah baru? Rakyat harus terus mengawasi dan mengingatkan bahwa pemerintahan bukan sekadar tentang jumlah orang, tetapi tentang kualitas dan dampak dari kebijakan yang dihasilkan.Â
Jika kabinet yang besar ini hanya akan menjadi tempat berkumpulnya politisi yang haus jabatan, maka jangan heran jika cita-cita Indonesia maju hanya akan menjadi mimpi kosong.
Apakah kabinet gemuk ini benar-benar langkah revolusioner yang akan membawa percepatan kemajuan, atau hanya ilusi perubahan di balik kepentingan politik?Â
Rakyatlah yang akan menilai dan merasakan dampaknya. Jika pada akhirnya kabinet hanya menjadi simbol dari bagi-bagi kekuasaan, maka mungkin kita perlu bertanya kembali: siapakah yang sesungguhnya "lebih leluasa untuk tidur," para menteri atau rakyat yang kembali terlelap dalam kekecewaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H