Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Secangkir Kopi dan Zaken Kabinet

15 Oktober 2024   09:00 Diperbarui: 15 Oktober 2024   09:15 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secangkir Kopi dan Zaken Kabinet

Dalam secangkir kopi yang mengepul panas,
Harapannya tak hanya di bibir pemanis,
Zaken kabinet, bukan sekadar wajah-wajah kompromis.

Aroma kopi yang menguar memenuhi ruang,
Seperti janji-janji yang dihembuskan dalam transisi,
Kami inginkan yang kapabel, bukan transaksi basa-basi.

Hangatnya kopi mengingatkan, waktu terus berjalan,
Transisi mesti diisi dengan bijak dan keputusan tegas,
Agar setiap tegukan membawa arah yang jelas.

Melalui puisi di atas, saya ingin menawarkan refleksi dengan berbagai sudut pandang, antara lain politis, psikologis, sosiologis, dan antropologis untuk memotret realitas yang ada di hadapan kita. Transisi pemerintahan segera terjadi. Apa saja yang mungkin terjadi bisa tersaji di hadapan kita secara cepat atau lambat. Kita harus Bersiap (dan bersikap) menghadapi semuanya itu. Saya mencoba melihatnya dari keempat hal berikut ini.

1. Politik

Secara politis, puisi ini menyoroti harapan publik terhadap sebuah "zaken kabinet" atau kabinet ahli yang diisi oleh orang-orang kapabel dan berkompeten di bidangnya, bukan sekadar hasil dari negosiasi politik atau bagi-bagi jabatan. Istilah "bukan sekadar wajah-wajah kompromis" mencerminkan kritik terhadap praktik politik transaksional yang kerap kali mengabaikan kompetensi demi mencapai kesepakatan atau koalisi.

Dalam konteks transisi pemerintahan, puisi ini memberikan tekanan pada pentingnya pemilihan pejabat yang dapat menjalankan tugas dengan profesional dan membawa kebijakan yang efektif. Harapan agar kabinet bisa "mengepul panas" seperti kopi yang baru diseduh juga menyiratkan urgensi untuk bergerak cepat dan berani dalam mengambil keputusan demi mengatasi berbagai tantangan bangsa.

2. Psikologis

Dari perspektif psikologis, puisi ini menggambarkan dinamika emosional yang timbul dalam masa transisi pemerintahan. Ada keinginan dan ekspektasi yang menggebu-gebu (diwakili oleh kopi yang panas), namun juga terdapat ketidakpastian apakah harapan tersebut akan terwujud atau hanya menjadi janji kosong.

Gambaran tentang "waktu terus berjalan" menekankan tekanan psikologis yang dirasakan oleh para pemimpin untuk segera bertindak dan memenuhi harapan masyarakat. Setiap keputusan kabinet akan mempengaruhi psikologi publik; jika dipenuhi oleh orang yang kompeten, masyarakat akan merasakan kelegaan dan optimisme, namun jika diwarnai oleh kompromi yang merugikan, rasa skeptisisme dan kekecewaan bisa meningkat.

3. Sosiologis

Secara sosiologis, puisi ini menyoroti bagaimana harapan terhadap zaken kabinet berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan kepemimpinan yang lebih baik. Transisi pemerintahan bukan hanya pergantian sosok, tetapi juga representasi perubahan sosial. Ketika kabinet diisi oleh ahli yang kompeten, hal ini dapat memberikan pengaruh positif terhadap kepercayaan sosial dan memperkuat kohesi sosial.

Sebaliknya, jika pemilihan pejabat lebih didasarkan pada politik transaksional, hal ini dapat memperdalam jurang ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Metafora kopi dalam konteks ini berfungsi sebagai simbol dari hal-hal yang dinikmati secara sosial, mengingatkan bahwa keputusan pemerintah harus bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara luas.

4. Antropologis

Dari sudut pandang antropologi, penggunaan kopi dalam puisi ini memiliki makna budaya yang mendalam. Kopi merupakan bagian dari tradisi sosial dan simbol hospitality (keramahan) dalam berbagai masyarakat, terutama di Indonesia. Secangkir kopi yang panas dan mengepul tidak hanya menjadi simbol dari harapan yang berapi-api, tetapi juga dari kebersamaan dan diskusi yang hangat.

Dalam konteks zaken kabinet, puisi ini mengajak pembaca untuk melihat pemerintahan sebagai ruang di mana berbagai pemikiran dan ide dapat diseduh bersama untuk menghasilkan kebijakan yang berkualitas. Selain itu, metafora kopi juga mencerminkan ritual keseharian masyarakat, menghubungkan pemikiran tentang politik ke dalam konteks kehidupan sehari-hari, yang diharapkan tidak hanya "hangat di permukaan" tetapi juga bermakna dan berkelanjutan.

Semoga melalui puisi sederhana dengan semua lapisan maknanya, memotret realitas politik yang kompleks sekaligus menggugah harapan akan perubahan yang lebih baik. Sebagai anak bangsa, kita selalu mengharapkan yang terbaik bagi bangsa, bukan bagi segelintir orang yang seolah-olah bekerja untuk seluruh bangsa, tetapi di akhir masa jabatan harta kekayaan mereka melimpah ruah tak bertepi.

Dengan meneropong secara ala kadarnya keempat hal di atas (politik, psikologi, sosiologi dan antropologi) kita semakin terlibat aktif dalam ikut memberikan sumbangsih bagi bangsa ini, dengan cara yang paling sederhana dan bahkan tidak dianggap sekalipun.

Kita mendambakan transisi pemerintahan yang berjalan baik, yang mengikis dan meretas semua polarisasi yang terjadi sebelum, selama dan pasca pemilu. Kelompok yang kalah tetap bisa terlibat dalam berusaha membangun bangsa. Dan kelompok yang menang tidak merasa sebagai satu-satunya yang paling mampu mengurus bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun