Sebaliknya, jika pemilihan pejabat lebih didasarkan pada politik transaksional, hal ini dapat memperdalam jurang ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Metafora kopi dalam konteks ini berfungsi sebagai simbol dari hal-hal yang dinikmati secara sosial, mengingatkan bahwa keputusan pemerintah harus bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara luas.
4. Antropologis
Dari sudut pandang antropologi, penggunaan kopi dalam puisi ini memiliki makna budaya yang mendalam. Kopi merupakan bagian dari tradisi sosial dan simbol hospitality (keramahan) dalam berbagai masyarakat, terutama di Indonesia. Secangkir kopi yang panas dan mengepul tidak hanya menjadi simbol dari harapan yang berapi-api, tetapi juga dari kebersamaan dan diskusi yang hangat.
Dalam konteks zaken kabinet, puisi ini mengajak pembaca untuk melihat pemerintahan sebagai ruang di mana berbagai pemikiran dan ide dapat diseduh bersama untuk menghasilkan kebijakan yang berkualitas. Selain itu, metafora kopi juga mencerminkan ritual keseharian masyarakat, menghubungkan pemikiran tentang politik ke dalam konteks kehidupan sehari-hari, yang diharapkan tidak hanya "hangat di permukaan" tetapi juga bermakna dan berkelanjutan.
Semoga melalui puisi sederhana dengan semua lapisan maknanya, memotret realitas politik yang kompleks sekaligus menggugah harapan akan perubahan yang lebih baik. Sebagai anak bangsa, kita selalu mengharapkan yang terbaik bagi bangsa, bukan bagi segelintir orang yang seolah-olah bekerja untuk seluruh bangsa, tetapi di akhir masa jabatan harta kekayaan mereka melimpah ruah tak bertepi.
Dengan meneropong secara ala kadarnya keempat hal di atas (politik, psikologi, sosiologi dan antropologi) kita semakin terlibat aktif dalam ikut memberikan sumbangsih bagi bangsa ini, dengan cara yang paling sederhana dan bahkan tidak dianggap sekalipun.
Kita mendambakan transisi pemerintahan yang berjalan baik, yang mengikis dan meretas semua polarisasi yang terjadi sebelum, selama dan pasca pemilu. Kelompok yang kalah tetap bisa terlibat dalam berusaha membangun bangsa. Dan kelompok yang menang tidak merasa sebagai satu-satunya yang paling mampu mengurus bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H