Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kulit yang Terkupas, Harapan yang Tersisa

14 Oktober 2024   22:12 Diperbarui: 14 Oktober 2024   22:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Kulit yang Terkupas, Harapan yang Tersisa

Desa itu bernama Warga Jaya. Suasana desa berubah seiring bergantinya pemerintahan. Para warga yang sehari-hari bergulat dengan tanah dan ladang memiliki harapan baru terhadap pemerintahan baru yang didengungkan akan membawa perubahan signifikan. Janji-janji bertebaran; pembangunan infrastruktur, perbaikan layanan kesehatan, hingga program pemberdayaan ekonomi untuk petani seperti mereka. Mereka menanti sentuhan solutif yang dijanjikan, sembari berusaha menghargai apa yang telah diwariskan oleh pemerintahan lama.

Meski tak semua bisa dianggap sukses, pemerintahan sebelumnya bukan tanpa prestasi. Jalanan beraspal yang mempermudah akses ke kota, fasilitas sekolah yang mulai diperbaiki, serta pasar mingguan yang dirintis pemerintah desa adalah beberapa contohnya. Namun, sayangnya, korupsi dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil telah menjadi noda hitam yang merusak kepercayaan masyarakat. "Kacang jangan lupa kulitnya," pikir Pak Danar, seorang petani tua. "Meskipun kulit itu mungkin banyak busuknya, tetap saja, tanpa kulit, kita tak akan tahu mana kacang yang masih baik."

Di tengah harapan yang menggebu, pemerintah baru mulai menampakkan gebrakan-gebrakan awalnya. Program pertanian terpadu dijalankan, subsidi pupuk diupayakan, dan beberapa pejabat desa yang korupsi dicopot dari jabatannya. Namun, di balik semua kemajuan tersebut, tersimpan satu kekhawatiran yang mengganjal: tak ada yang berbicara tentang penghormatan atas apa yang telah dibangun pemerintahan lama, tak peduli seburuk apa pun hasilnya.

Suatu sore, di balai desa, digelar sebuah pertemuan warga. Mereka berdiskusi tentang perkembangan terbaru dan program-program yang sedang berjalan. Di tengah percakapan, seorang pria asing berdiri di depan ruangan. Usianya sekitar lima puluhan, mengenakan pakaian sederhana namun rapi, dengan wajah yang menyiratkan kebijaksanaan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Bapak Rendy, perwakilan dari kementerian pusat yang ditugaskan untuk memonitor dan memastikan implementasi program berjalan sesuai rencana.

(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)

"Saya di sini bukan hanya untuk memastikan semua kebijakan diterapkan dengan baik, tetapi juga ingin mengajak kita semua untuk tidak melupakan akar sejarah," ujar Bapak Rendy dengan suara bergetar. "Kita memang menanti sesuatu yang lebih baik, namun mari kita tidak lupa bahwa jalanan beraspal dan fasilitas sekolah yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari pemerintahan sebelumnya. Mungkin banyak hal yang tidak sempurna, bahkan menyakitkan, tapi setidaknya kita bisa mengakui bahwa ada upaya yang telah mereka lakukan."

Semua terdiam, ada yang terkejut, ada pula yang merasa lega. Lalu Bapak Rendy melanjutkan, "Pemerintah baru ini mungkin akan membawa banyak perubahan positif, tetapi kita tak akan sampai di sini jika tidak ada langkah awal yang diambil oleh mereka sebelumnya, betapapun kecilnya."

Saat pertemuan berakhir, seorang pemuda bernama Ardi, anak Pak Danar, mengamati dengan tajam Bapak Rendy yang berdiri sendirian di pinggir balai. Ia mendekati pria itu dan bertanya dengan penasaran, "Bapak benar-benar yakin dengan apa yang Bapak katakan tadi?"

Dengan senyum tipis, Bapak Rendy menatap Ardi dan menjawab, "Tentu saja, Nak. Sebab saya adalah bagian dari pemerintahan lama. Saya tidak hanya ingin masyarakat mengingat kami sebagai kacang busuk, tapi juga ingin kalian tahu bahwa busuknya itu terjadi karena kami pun manusia. Pemerintah yang sekarang mungkin jauh lebih baik, dan saya bersyukur untuk itu. Saya hanya ingin menebus kekurangan kami dengan menjadi bagian dari perubahan."

Ardi tertegun mendengar pengakuan yang tak pernah ia sangka. Rupanya, sosok yang ia kira sebagai pembawa angin segar dari pemerintahan baru ternyata justru adalah seseorang yang pernah menjadi bagian dari segala kesulitan yang pernah dihadapi desa. Ternyata, perubahan yang mereka nanti bukan semata datang dari luar, tetapi juga dari kesadaran diri untuk memperbaiki apa yang pernah salah.

Tentu ini mengejutkan bagi Ardi, dan mungkin bagi seluruh warga Warga Jaya, adalah ketika mereka menyadari bahwa pemerintahan baru ini ternyata tidak benar-benar baru. Beberapa dari mereka, termasuk Bapak Rendy, adalah bagian dari pemerintahan lama yang sekarang bekerja keras untuk memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan. Sesungguhnya, kacang itu masihlah sama, hanya saja kulitnya kini dipoles dan diperbaiki agar lebih kuat menghadapi masa depan.

Harapan baru itu tumbuh dari kesadaran bahwa meskipun kulit yang busuk telah terkupas, apa yang tersisa bisa tetap bermanfaat jika diperbaiki dan dihargai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun