Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bubur Rindu Tanpa Kuah

12 Oktober 2024   17:20 Diperbarui: 12 Oktober 2024   17:56 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Bubur Rindu Tanpa Kuah

"Aroma bubur yang mengepul di mangkuk itu seolah-olah menguapkan masa lalu, mengirimkan Beni kembali ke waktu ketika setiap Minggu pagi adalah ritual hangat bersama Ayah. Di sudut kedai yang kini mulai pudar warnanya, ia merasakan kenangan menyeruak seperti taburan bawang goreng di atas bubur, renyah dan menghidupkan sesuatu yang telah lama terkubur di dalam hati."

Beni duduk termenung di sebuah bangku kayu panjang, tepat di sudut kedai bubur tua yang terletak di pojok jalan sempit. Meja kayu di depannya penuh coretan bekas lelehan lilin, seolah-olah waktu meninggalkan jejak di sana. Di hadapannya, semangkuk bubur ayam mengepul dengan aroma gurih yang memanggil, melambai lembut seperti panggilan dari masa lalu. Sesendok demi sesendok, bubur itu masuk ke mulutnya, terasa lebih dari sekadar butiran nasi dan kuah kaldu; ia membawa Beni melintasi lorong waktu, ke sebuah tempat yang sudah lama tak ia kunjungi.

Dulu, setiap Minggu pagi, Beni kecil dan Ayahnya selalu datang ke kedai ini. Mereka sudah menjadikannya rutinitas yang tak tertulis, tetapi begitu sakral. Mereka memesan dua mangkuk bubur ayam dengan topping lengkap: telur setengah matang, cakwe, seledri, dan taburan bawang goreng yang renyah. Ayah selalu menambahkan banyak kecap manis dan sambal merah, sementara Beni lebih suka buburnya tanpa tambahan apa-apa. "Bubur itu seperti hidup, Bi," kata Ayah suatu hari. "Kadang ada yang suka tambah rasa macam-macam, kadang ada yang lebih suka apa adanya."

Setiap suapan adalah pengingat kehangatan dan canda tawa yang dulu hadir di sela-sela pembicaraan mereka. Ayah selalu menceritakan kisah-kisah menarik tentang masa kecilnya di desa, tentang main layangan di sawah, dan tentang bubur jagung buatan nenek yang kental dan manis. Beni tidak pernah bosan mendengar kisah yang sama diulang-ulang; baginya, suara Ayah saat bercerita adalah lagu yang selalu ia rindukan.

Tapi, semua berubah ketika Ayah jatuh sakit dan akhirnya meninggal setahun kemudian. Minggu pagi tak pernah lagi sama bagi Beni. Ia berhenti datang ke kedai bubur itu. Baginya, tempat itu terlalu penuh kenangan, terlalu berat untuk ditelan. Sementara hidup terus berlanjut, rutinitas sarapan bubur pun tertelan oleh waktu, menghilang begitu saja tanpa sisa.

Hari ini, setelah bertahun-tahun berlalu, langkah kaki Beni secara tak sengaja membawanya kembali ke kedai itu. Tampilannya nyaris tak berubah; cat dinding yang mulai memudar, aroma kayu tua bercampur dengan bau kaldu ayam yang masih menguar dari dapur. Hanya penjaga kedainya yang berbeda; seorang pria paruh baya menggantikan kakek pemilik lama yang entah ke mana. Namun, ada sesuatu yang tetap sama di sini: mangkuk bubur di depannya, dan memori yang kembali menyeruak, mengisi kekosongan yang sudah lama ia biarkan.

Saat menyuap bubur ke mulut, kenangan lama seolah kembali hidup. Beni merasakan kehangatan yang sama, meskipun Ayah tak lagi ada di sampingnya. Ia menatap mangkuk buburnya, mendapati sesuatu yang aneh. Rasa bubur ini memang mirip, namun ada sesuatu yang berbeda, seperti ada sentuhan lain yang tak ia kenali. Mungkin karena bubur ini tak lagi disajikan dengan tangan-tangan yang sama, atau mungkin karena lidahnya telah berubah seiring waktu. Tapi, ada hal yang lebih menggangu: mengapa ia kembali ke sini hari ini? Kenangan itu seolah punya caranya sendiri untuk menuntunnya kembali.

"Mas Beni?" Suara lembut mengejutkannya. Ia menoleh, melihat seorang wanita yang berdiri di dekat mejanya. Matanya tampak akrab, meski wajah itu sudah lebih dewasa dari yang ia ingat.

"Rina?" Beni akhirnya mengenali wanita itu. Mereka dulu teman kecil yang sering bermain bersama saat Ayah membawa Beni ke kedai bubur ini. Rina adalah cucu pemilik kedai yang lama. Seingat Beni, Rina dan keluarganya pindah ke luar kota bertahun-tahun lalu.

"Iya, ini aku," jawab Rina sambil tersenyum kecil. "Kedai ini sudah lama dijual ke orang lain, tapi aku tetap suka mampir setiap kali pulang. Rasanya banyak kenangan di sini, ya?"

Beni mengangguk pelan, mendapati dirinya kembali terseret dalam nostalgia. "Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba datang ke sini lagi. Sudah bertahun-tahun aku nggak makan bubur di sini. Rasanya... kosong."

Rina duduk di depan Beni, memesan semangkuk bubur untuk dirinya. Mereka mulai berbicara tentang masa lalu, tentang permainan mereka saat kecil, tentang bubur jagung nenek Rina yang dulu sering dibuatkan untuk mereka berdua. Waktu seolah berhenti, membiarkan mereka mengurai kembali benang-benang kenangan yang nyaris terlupakan.

"Masih ingat bubur jagung nenek, kan?" tanya Rina tiba-tiba.

Beni tersenyum kecil, "Tentu saja. Itu bubur terenak yang pernah aku makan."

"Lucu, ya. Aku selalu berpikir, kenapa nenek dulu lebih sering membuat bubur jagung daripada bubur ayam seperti ini. Ternyata, dia bilang padaku waktu itu... karena bubur jagung adalah bubur kenangan. Bubur yang mengingatkan nenek pada masa-masa susah, tapi penuh kebersamaan."

Beni terdiam. Kata-kata Rina menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya. Bubur ini, meskipun sederhana, ternyata menyimpan makna lebih dari sekadar makanan. Seperti yang Ayah katakan dulu, ada orang yang menambah banyak rasa untuk buburnya, dan ada yang membiarkannya tetap sederhana. Namun, tanpa disadari, keduanya sama-sama membawa kenangan yang tak terkatakan.

Saat mereka selesai makan, Rina mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah mangkuk kecil berisi bubur jagung yang diselimuti aroma harum daun pandan. "Ini, aku buat sendiri. Mungkin rasanya nggak akan sama seperti buatan nenek, tapi aku ingin kamu mencoba."

Beni menerima mangkuk itu, dan saat ia menyuapkan bubur jagung ke dalam mulutnya, ia merasa seperti terjatuh ke dalam ruang rindu yang tak terhingga. Ada rasa manis yang tak biasa, bukan hanya dari gula, tetapi dari kenangan yang tertelan bersama setiap sendoknya. Seperti meneguk masa lalu dan menyadari bahwa beberapa kenangan, betapapun pahit atau manisnya, tetap menjadi bagian dari diri kita.

"Aku nggak tahu, Rina," ujar Beni dengan suara bergetar. "Mungkin aku baru sadar bahwa bubur bukan hanya tentang kuah atau topping-nya. Kadang, bubur adalah tentang apa yang tertelan di dalamnya: rindu, kenangan, atau bahkan kehilangan."

Rina menatapnya dengan senyum yang lembut. "Iya, Beni. Bubur kadang menjadi ruang rindu yang tertelan... dengan atau tanpa kuah."

Mereka tertawa kecil, menikmati kehangatan kebersamaan yang langka itu. Dan, meskipun waktu terus berjalan, kenangan mereka tetap hidup, tertuang dalam semangkuk bubur yang sederhana, tetapi penuh makna.

***

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Setelah tawa dan percakapan yang menghangatkan sore itu, Beni dan Rina berdiri untuk beranjak pergi. Tak ada janji atau kesepakatan yang terucap di antara mereka, namun keduanya tahu, ada sesuatu yang tak perlu dikatakan dengan kata-kata. Mereka tidak membuat rencana untuk bertemu lagi, tidak ada kesepakatan tertulis untuk kembali pada minggu berikutnya. Namun, tanpa pernah membicarakannya, setiap kali langkah kaki membawa mereka ke kota ini, mereka berdua selalu berakhir di kedai bubur tua yang menyimpan kenangan mereka.

Bubur menjadi tali pengikat yang alami, seolah memanggil mereka kembali ke tempat yang sama, tanpa pernah meminta, tanpa pernah memaksa. Seperti bubur yang selalu hadir dengan kehangatannya, kedai itu tetap menjadi ruang yang menunggu. Dalam keheningan setiap suapan, Beni dan Rina menemukan kenyamanan, menemukan bahwa meski waktu terus berjalan, ada yang tak pernah berubah.

Mungkin, tanpa perlu mengikat diri pada janji, kedai bubur ini telah menjadi jembatan sunyi yang menghubungkan rindu mereka. Bubur yang sederhana ini, di balik kesahajaannya, selalu berhasil menyatukan dua sahabat lama. Tanpa disadari, mereka telah menjadikan bubur itu bukan hanya makanan, tapi juga silaturahmi yang lembut dan abadi; tempat di mana waktu bisa berhenti sejenak, dan kenangan dapat dinikmati perlahan, sendok demi sendok.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun