Setelah tawa dan percakapan yang menghangatkan sore itu, Beni dan Rina berdiri untuk beranjak pergi. Tak ada janji atau kesepakatan yang terucap di antara mereka, namun keduanya tahu, ada sesuatu yang tak perlu dikatakan dengan kata-kata. Mereka tidak membuat rencana untuk bertemu lagi, tidak ada kesepakatan tertulis untuk kembali pada minggu berikutnya. Namun, tanpa pernah membicarakannya, setiap kali langkah kaki membawa mereka ke kota ini, mereka berdua selalu berakhir di kedai bubur tua yang menyimpan kenangan mereka.
Bubur menjadi tali pengikat yang alami, seolah memanggil mereka kembali ke tempat yang sama, tanpa pernah meminta, tanpa pernah memaksa. Seperti bubur yang selalu hadir dengan kehangatannya, kedai itu tetap menjadi ruang yang menunggu. Dalam keheningan setiap suapan, Beni dan Rina menemukan kenyamanan, menemukan bahwa meski waktu terus berjalan, ada yang tak pernah berubah.
Mungkin, tanpa perlu mengikat diri pada janji, kedai bubur ini telah menjadi jembatan sunyi yang menghubungkan rindu mereka. Bubur yang sederhana ini, di balik kesahajaannya, selalu berhasil menyatukan dua sahabat lama. Tanpa disadari, mereka telah menjadikan bubur itu bukan hanya makanan, tapi juga silaturahmi yang lembut dan abadi; tempat di mana waktu bisa berhenti sejenak, dan kenangan dapat dinikmati perlahan, sendok demi sendok.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H